Life Updates from Me :)

Hi!

It’s me

 

Ohisashiburi (Long time no see). 

It’s been a while since I wrote my latest post about my Hajj experience. 

Blogging seems to be more challenging day by day. 

I hope I don’t lose the spark of blogging, because I love blogging so much. 

 

And, it seems I am currently suffering with my default writing language. 

I don’t wanna sound that I’m showing off, but whenever I start writing in Bahasa Indonesia, my brain always shifts to English. I feel like I lost my capacity to write in my native language, but my English writing skill is not perfect as well. Even though I tried to mix both languages (like I used to do in the past), I can see the struggling there.. Dunno why, am I losing my language skills in both Indonesian and English? What kind of syndrome am I having right now? 

 

Me, being a native Indonesian doesn’t help me to write in Indonesian, my English is still broken too (as well as my Japanese and German). I am a bit embarrassed to admit this, I don’t belong to any language T_T

 

Let’s forget about language issues for a while.

I wrote this post just to share my current update about my life. As I intend to use this blog to share my thoughts and my journey as a Student Traveler, let me share what I am currently doing lately. I just migrate my blog into different hosting, so I am not sure whether this migration might impact in losing my past reader or not. I don’t write regularly, so I’m sure this blog might become a ‘spider’s web’ for not having a reader. :p

 

I am (still) living in Japan right now. Extending my study, now I am in my 4th year. Trying to finish my doctoral study and wishing to see the end of the tunnel from all the hard work I did. Now, I am currently waiting for my supervisor’s feedback on the 2nd draft of my paper. As my scholarship ended last year, I started to make a living through part-time jobs, which I can’t believe that my husband and I can live in Japan by depending on part-time jobs. We’re both doing fine with the jobs, even though it made us tired most of the time. However, this is not our first time (we had it in Germany before). I am now working as a tour guide, the job that pays me pretty well, I honestly love the job even though it makes me exhausted physically and mentally. I am no longer in my 20s so walking around for 5 hours straight is fun but physically tiring. The job gave me additional benefits in improving my English conversation skills (A lot of my guests from US keep asking me if I’ve ever lived in the US before, they keep complimenting my English that sounds like an American – I took it as a compliment 🙂 ) and getting to know about my guests and their backgrounds (I did more a hundred tour, I got lots of interesting stories which inspires me to write a blog about my life as a guide). 

 

With the better quality of life that I have here, I really enjoy my life in Kyoto. Most of the living I’m having right now is what I’ve been dreaming of. Although sometimes I miss my hometown too as well as my old life, I gain some fundamental things that I didn’t get in the past: proper healthcare services, ability to walk anywhere in convenient ways, better pay for my job, a separation between working time and resting time, solitude time, etc. Great things in life sometimes come from simple things. I sacrificed a lot in my 20s (yet I enjoy it too), now as I grow older, my perspective has changed quite a lot about life. I focus to see myself to the inside, rather than to the outside. 

 

Of course, my life is not perfect (and, who has a perfect life?). I am still worrying for something that I cannot see and predict right now, I get anxious with abstract things, I sometimes feel insecure with my capacity. In this PhD journey, I learned a lot about myself. I don’t know why but knowing myself better can make me more anxious and unconfident. I was very confident and empowered, but I am losing a bit. (It’s hard to explain, but yeah, that’s what I am feeling). 

 

My life is much simpler than it used to be. I do one thing at the time. I enjoy small things. I am still trying to believe in myself, whatever things come to me, I wish I could be strong and mature. I am practicing my self-awareness on my anger (still the hardest part). 

 

I am a 35 yrs old woman who still feels like I’m a kid who wants to do gaming all day, then all of sudden trapped into a woman’s body. I am so confused when I watch Sex and the City series, all characters are around my age (even some of them were younger than me), and their conversation is wild on men, sex, adulting, and so on. I feel like I am too old for this thing (well, I am married, but I rarely talk much about those topics with friends. I am excited to talk about games, kpop, coffee shop, funny cat videos, and lame jokes.

 

In summary, I’m OK, I am hanging in on what I am doing now, I am still hoping that people I care the most still care about me, I am happy with my married life (we just celebrated our 9 years anniversary!), I am still annoying and loud (as what my close friends think of me), I am gaining things and losing things at the same time. My hope is that I could go back to writing more often on my blog (with whatever language I wanna use). I want to keep my memory alive through my own words. Maybe I can go slowly.. Trusting the time and focus on my true intention. 

 

I hope every single one of you who read this post is doing okay, even though you’re not okay, I hope you keep hanging in there and believe that you’ll be fine.

 

Best,

@annisaa_potter

 

Read More

Ruang Bermain Bocah di Pinggir Jalan Tol

“ The true object of all human life is play. Earth is a task garden; heaven is a playground.”

– Gilbert K. Chesterton

Muqqadimah: Ini adalah tulisan yang pernah saya buat di sekitar tahun 2000-an, mungkin saat saya masih kuliah S-1. Entah saya lupa tulisan ini dibuat dalam rangka apa, yang bisa saya ingat itu saya tiba-tiba teringat dengan memori masa kecil saya yang sering dihabiskan di pinggir jalan tol untuk bermain. Rumah orang tua saya berada di pinggir jalan tol Jagorawi. Tulisan ini saya temukan di sebuah folder, saya baca kembali, saya merasa ceritanya manis sekali, dan sayang kalau tidak dibagikan, dan saya merasa semesta memberi tanda sejak lama bahwa perjalanan hidup saya akan mengarah pada dunia bermain (game) 🙂 Selamat membaca!

Saya ingin sedikit bercerita tentang halaman bermain saya sewaktu kecil. Halaman bermain yang tidak biasa, bukan seperti taman bermain yang dilengkapi oleh wahana-wahana serodotan ataupun ayunan (yang biasanya ada di perumahan komplek). Halaman bermain ini tidak ada ayunan, juga tidak ada serodotan. Halaman bermain saya jauh lebih luas dari taman komplek rumah. Halaman bermain saya (mungkin) mampu mengakomodir semua kegiatan, mulai dari bermain ibu-ibuan, bermain layang-layangan, hingga peringatan 17 Agustus. Apa saja bisa dilakukan disana, halaman bermain saya itu bagaikan ruang yang tidak terbatas bagi mata, telinga, dan tubuh saya untuk berekspresi.
Saya tinggal di satu kelurahan (atau tepatnya kampung) yang terletak di pinggiran tol Jagorawi. Kalau ada yang bertanya, “rumah kamu dimana?” saya akan jawab “di pinggir tol”.
Sedikit ambigu, tapi yah memang begitu.
Saat itu, saya memiliki banyak teman bermain yang berasal dari kelurahan yang sama. Kami memang anak ‘pinggiran’, tapi kami bisa bermain apa saja. Saat saya masih berumur 7 tahun, permainan digital masih belum populer, sehingga kami banyak menghabiskan waktu bermain di luar rumah. Mulai dari jalan setapak hingga di padang rumput pinggir tol.
Inilah halaman bermain kami. Pinggiran tol jagorawi.
Hamparan padang rumput luas memanjang di pinggir tol dekat rumah. Tempat itu telah menyimpan sejuta memori indah bersama teman-teman kecil saya saat itu . Sudah bertahun-tahun lamanya, saya dan teman-teman menghabiskan waktu senggang dengan bermain-main disana.
Beruntungnya menghabiskan masa kecil ditahun 1990an, dimana masih ada game ‘ucing-ucingan’. (Sekarang apa masih ada anak-anak yang main ucing-ucingan?)
Ada ucing jongkok, ucing joli, ucing benteng bahkan gabungan ucing joli-jongkok juga ada.
Kami bisa bermain ucing-ucing di padang rumput yang luas.
Saat itu, main layangan juga menjadi game yang cukup populer. Mau laki-laki, mau perempuan. Mau tua, mau muda. Semua suka main layangan.
Saya ingat, di tengah siang bolong, saya bermain layangan sendiri di padang rumput itu sampai-sampai benangnya habis. Kalau benang sudah habis, ya tinggal duduk diam saja sambil pegang gulungan benang dan mengamati layang-layang yang terbang tinggi. Daerah di pinggir tol memiliki fasilitas khusus bagi yang bermain layangan dan fasilitas ini tidak dimiliki taman-taman lainnya,, yaitu banyaknya angin yang bersahabat untuk menerbangkan layangan.
Menyenangkan sekali bermain layangan disitu. Panas terik membakar kulit sudah dilupakan begitu saja karena keasyikan bermain.
Sore harinya, saya dan teman-teman akan sibuk menyiapkan makanan untuk makan bersama, kami menyebutnya dengan istilah ‘papadangan’ atau makan bersama di suatu ruang terbuka.
Ramai-ramai, kami semua pergi ke pinggir tol, menggelar tikar, lalu duduk dan makan bersama. Sambil ditemani suara deru mobil dan truk yang lalu lalang di jalan tol.
Meski berisik, tapi menyenangkan sekali.
Di halaman bermain itu, ada banyak kubangan-kubangan lonjong berdiameter 1,5 meter dan dipenuhi rumput-rumput liar. Saat kering, kami biasa bermain perang-perangan disana. Membangun benteng, bersembunyi di kubangan, membidik lawan yang juga bersembunyi di kubangan lain dengan pistol tanaman buatan sendiri. Saat hujan, kubangan tersebut akan berubah menjadi kola-kolam kecil. Kami pun langsung menceburkan diri ke dalam kubangan, dengan penuh tawa. Tanpa rasa takut akan muncul cacing, kodok atau serangga air.
Kotor, tapi menyenangkan sekali.
Segala memori menyenangkan di padang rumput pinggir tol itu masih tersimpan jelas di benak saya (dan mungkin teman-teman kecil saya). Halaman bermain di pinggiran tol itu telah menjadi saksi bisu tentang budaya bermain anak-anak tahun 1990-an. Tanpa gadget, tanpa listrik. Alam-lah yang menjadi gadget kami.
Waktu pun berganti, saya tumbuh besar, begitu juga teman-teman kecil saya, sebagian masih menetap di kampung, sebagian lagi berpindah ikut orang tua. Kami pun tidak lagi bermain di pinggir tol. Perlahan kami meninggalkan taman itu. Mencoba melihat dunia baru di luar sana. Halaman bermain pinggir tol itu pun sempat terlupakan.
Hari berganti hari, kampung saya pun menjadi semakin padat dengan bertambahnya areal pemukiman. Selain itu, sebagian masyarakat warga setempat semakin merasa sulit untuk mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Hingga, mereka pun meilirik padang rumput yang luas tersebut, halaman bermain kami sewaktu kecil. Dan akhirnya, padang rumput itu pun berubah menjadi kebun singkong. Rumput tidak akan memberikan keuntungan langsung kecuali pakan ternak, tapi kebun akan memberikan keuntungan secara langsung dari hasil panen. Padang rumput itu pun hilang. Kubangan-kubangan itu juga ikut hilang.
Suatu ketika, sepulang dari sekolah, saya melewati padang rumput pinggir tol itu. Saya pun terhenti sejenak. Kemana halaman bermain saya?
Kenapa semua berubah menjadi kebun singkong? bahkan ada kebun baru yaitu tanaman jagung yang baru ditanam.
Saya pun tersadar bahwa tidak ada lagi ruang bermain bagi saya dan rekan-rekan kecil. Padang rumput itu telah berubah menjadi kebun yang ditanami tanaman pangan yang padat merapat. Terlebih lagi, padang rumput itu juga diblok oleh pagar semen tebal yang memisahkan padang rumput dengan kampung saya. Memberikan pesan bahwa padang rumput itu tidak lagi dapat diakses. Namun bagaimana lagi, padat rumput itu bukan milik saya, saya hanya meminjam saja untuk bermain sejak kecil. Namun, padang rumput itu telah menjadi satu-satunya halaman bermain terbaik bagi saya. Mengajarkan saya bagaimana indahnya bermain dengan rumput, bermain dengan pohon pisang, bermain dengan tanah.
Betapa beruntungnya saya hidup di zaman itu. Menghabiskan waktu di luar sana. Merasakan angin, mendengar deru kendaraan, berteriak sesuka hati dengan teman-teman, dan berguling-guling di atas hamparan rumput.
Memori masa kecil saya pun perlahan menghilang, dan saya pun kembali ke masa kini. Lalu, saya bertanya-tanya dalam hati, “bagaimana dengan kondisi anak-anak yang saat ini?n Mereka yang sudah banyak mengenal dunia game digital, apakah mereka masih mau bermain diluar sana? Lalu, apakah masih ada ruang bermain bagi mereka di tengah-tengah arus perubahan lahan yang kian cepat? Terpenting lagi, apakah mereka akan memiliki kenangan bermain di luar sana ketika mereka sudah tidak memiliki ruang bermain lagi saat mereka kecil?“

@annisaa_potter

Read More

Nice to meet you, COVID-19

After 2.5 years of living around COVID-19, I finally lost my COVID virginity.

Hi, it’s me. I am the problem, it’s me.

Gue sering banget heran, badan gue yang ringkih ini gak masih belum juga terserang COVID. I am not physically fit, olahraga masih uring-uringan, makan juga hajar-hajar aja. Orang modelan kayak gue emang gampang kena penyakit. Ditambah pula, alergi, nyeri, sakit yang sudah mengeram di badan gue bertahun-tahun. It’s hard to say that I am healthy for my age. Tapi acceptance level gue sudah membaik, I embrace this condition, I can’t be as fit as others who can do lots of things at once. That was me in early 20s, but not now.

Enam hari lalu, gue nerima hasil kalau gue positif COVID-19, basi banget sih sebenarnya kena covid jaman sekarang haha. Udah gak begitu berasa menyeramkan kalo denger orang kena COVID, beda banget sama 2 tahun lalu.

Okay, let me explain what happened chronologically.

Last week, on Saturday, my friends and I had dinner at my place. Makan-makan ini sekalian bentuk syukuran atas selesainya interim presentation (yang sebenarnya bukan akhir juga, as Dark said every ending is just the beginning), so why not kita makan-makan sambil melepas penat dari rutinitas kerjaan yang numpuk terus.

Dua hari setelahnya, satu teman kami yang ikut di acara dinner nge-chat kalau dia positif COVID-19. Kabar ini mengundang rasa penasaran yang lain, dan akhirnya satu per satu tes. Sebagian besar positif, hanya beberapa yang negative. Gue baru tes hari selasa siang, karena sebelumnya gue lagi nyeri datang bulan parah. Boro-boro mikirin COVID, sakit datang bulan itu lebih mengerikan buat gue. Waktu gue tes COVID di klinik Hyakumanben (it’s free), gue gak ngerasa ada gejala apa-apa, saat itu badan gue lemes, dan kalo lagi haid, badan lemes itu biasa. Gue sendiri gak bisa bedain. Hasil tes baru keluar 1-3 harian. Beres tes, gue pergi ke lab sebentar buat ambil charger laptop (kemungkinan gue isoman beberapa hari di apato). Gue balik menjelang magrib, dan tiba-tiba badan gue anget, pas gue cek suhu.. eh? 39,3o!

Disitulah, gue merasa gue positif tanpa harus nunggu hasil keluar. Malam itu gue langsung tidur. Konon, hari dimana kita mulai ngerasain gejala itu disebut Day 0.

Besok nya (Day 1), demam gue hilang, sekarang gue pilek berat dan pusing. Lagi-lagi, gejala ini juga gak asing, kalo gue kecapean atau lagi haid, gue biasanya pilek berat dan pusing. Gejala COVID mirip banget sama gejala kalo gue nge-drop.

Gue tiba-tiba kepikiran sama hasil tes PCR yang belum masuk-masuk ke email gue, akhirnya gue coba rapid test pake kit yang sempet gue beli.
Jeng.. jeng… dua strip, alias positif haha.
Gue info ke temen-temen gue, gue official gabung ke cluster Ladies Night. Selang beberapa jam kemudian, tes PCR dari Hyakumanben keluar juga. Yes, positif.

Gue kena COVID-19.

Adek gue yg udah dua kali kena langsung nyuruh beli obat ini itu, vitamin ini itu. Gue sendiri gak ada ransum yang ready. Masak pas sehat aja males, gimana masak kalo lagi sakit begini. Alhamdulilah ada beberapa teman-teman yang mau bantu beliin dan anterin makanan dan obat (Terharu banget).

Selama beberapa hari ke depan, gue fokus untuk tidur, makan, minum obat, dan minum air yang banyak.

Day-2 : lebih parah, gue mulai batuk yang bikin perih dada. Sakit banget ampe keluar air mata. Gue juga mendadak mellow, karena Cuma sendirian di apato. Radang tenggorokan gue kumat, tapi masih bisa makan. I think that day was the worst sih, bahkan mau nyambi nonton film aja gak kuat, soalnya bosen kalo tidur bengong terus.

Day-3 : kepala pusing, masih batuk, tapi gak se-nyeri kemarin. Radang nya makin kumat, kadang-kadang sakit tiap nelan. Gue banyakin minum anget. Hari ini mulai bisa nyambi nonton Badminton. Mungkin gue kena efek obat, gue gampang ngantukan, jadi sering ketiduran. Selain ketiduran gue gampang banget laper.

Gejala yang gak gue alamin so far itu ilang penciuman dan perasa, justru gue laper mulu, hehe.

Day-4 : Kepala masih agak keliyengan, radang tenggorokan juga masih berasa. One thing for sure, badan gue lebih enakan dibanding day-2. (See? Only compare yourself with your past-self). Gue masih ngantukan, gara-gara ini, gue telat makan. Untung ada roti to the rescue. Siangnya, gue mutusin buat mandi keramas ofuro pake air anget. Maknyes, enak banget. Cuaca dingin, badan lemah, obatnya paling enak ya dicemplungin ke air anget. The amount of guilt inside me udah menumpuk, akhirnya gue coba buka laptop, beresin kerjaan yang ringan-ringan dulu. Malamnya, tenggorokan gue masih kerasa nyeri. Oh ya, gue nerima paket sembako dari KJRI Osaka (Terima kasih ya), mayan ada madu nya, pas banget stok madu gue abis.

Day-5 : Hari dimana gue nulis postingan ini. Ini macam anxiety feeling setelah berhari-hari gabut, gue selalu cari pelampiasan, sebelum gue memulai deep work. Bangun tidur, tenggorokan gue masih agak sakit, tapi perlahan sakit nya ilang, kayanya bakal ilang muncul gini deh. Hari ini hari Minggu. Gue tersadar lima hari sudah gue tidak meninggalkan apato ini. Bahkan sekalipun ke supermarket sebelah. Kayanya sore ini gue mau ke supermarket sambil jalan-jalan ringan.

Berkawan dengan COVID-19 di penghujung tahun 2022 ini cukup mengagetkan buat gue. Karena gue dikelilingi oleh narasi COVID sudah usai, eh ternyata engga. These pricks are still around us  Gue sebenarnya berterima kasih banget juga sih, karena COVID ngajak kenalan nya setelah gue beresin salah satu fase krusial studi gue, or lebih ke fase formalitas yang harus gue lewatin. Dan omongan itu emang doa ya, entah gue kualat apa gimana. Gue sempat ngomong di lab, setelah minggu ini selesai, gue mau istirahat seminggu. I honestly didn’t mean it, I was exaggerating. Maksudnya beres dua presentasi, gue mau lebih rileks, but I still have plenty of work to do, but it turned out that COVID forced me to rest. 

Anyway, I am doing okay now. Maybe tomorrow I’ll do the rapid test and hope for a negative result. Humans sometimes forget that life is 99.8% uncertain. I could plan everything I want, I wish, I like, but I shouldn’t be too much certain about all the things.

Just accept what comes to you, because my heart is at ease knowing what was meant for me will never pass me, what misses me will never mean for me!

Read More