Tahun 2020 adalah tahun COVID-19. Dan gue merasa Bong Joon Ho ada benarnya..
“You can’t go wrong with no plans. We don’t need to make a plan for anything. It doesn’t matter what will happen next.”
– Kim Ki-taek, Parasite
Hampir semua orang gelisah, kapan wabah ini musnah dari muka bumi, kapan kita bisa balik ke aktivitas normal, kapan kita kembali mengais rejeki, kapan.. kapan.. kapan.. ah, tak tau kapan. Aku pun bukan Mama Loren yang bisa memprediksi. Hampir semua plan gue tahun ini batal, sebagian besar ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan, kemana mana gak bisa, dan dana darurat mulai dimanfaatkan.
Setelah hiatus nulis setahun, gue mulai mikir enaknya gue mulai dengan nulis apa ya selain traveling? Hmm..
Saat ini, aktivitas ekonomi melambat, bahkan konon kita mulai masuk resesi, gue jadi pengen nulis sesuatu yang baru dan lagi jadi interest gue belakangan ini. Gue mau ngomongin … DUIT!
~Duit lagi duit lagi masalah yang mendasar dalam hidup ini~
– Potret
Sejauh yang pernah gue inget, gue gak pernah bikin tulisan soal duit. Duit disini maksudnya finance atau investment, spesifik soal ngatur duit. Gue sempat mengira bukan kapasitas gue membuat tulisan tentang keuangan dan ngomongin uang itu cukup sensitif, eh ternyata salah. Everyone can talk about money. Apalagi di umur gue yang udah segini (segimana coba? :p) uang menjadi bagian yang amat penting dalam kehidupan ini. Don’t get me wrong, gue bukan pemuja uang, and I’m not that kind of person who strongly says: uang bukan segalanya. I strongly agree with that statement, tetapi ada ‘tapi’ nya….
Uang bukan segalanya, tapi hampir segala hal dalam hidup ini pasti terkait sama uang.
Uang bukan segalanya, tapi uang bisa ngasi kita kenyamanan lebih.
Uang bukan segalanya, tapi ketika lo punya uang, lo bisa berpikir dan bikin keputusan lebih baik dari saat lo gak punya uang (ini ngutip dari mbak Ligwina Hananto, dan memang ada benarnya J)
Bicara uang itu biasanya nempel banget sama emosi. Apa yang kita ucapkan sering berubah-ubah sesuai emosi kita, yang mana dipengaruhi sama urusan uang juga. Itu kenapa, gue berusaha untuk tidak naif kalo bicara duit. Gue gak mau bilang “ah uang kan bukan segala-galanya” hanya untuk pembenaran, padahal kondisi bokek/butuh duit atau iri karena orang punya duit dan gue gak punya. Setiap orang punya prinsip yang berbeda beda soal uang, dan gue menghargai pilihan masing-masing. Semakin bertambahnya umur, gue merasa lebih terbuka sama keuangan.
Minat gue untuk belajar soal keuangan sebenarnya udah ada sejak lama. Tapi, gue merasa lebih agresif buat belajar dalam 1,5 tahun terakhir ini. Salah satu pemicu-nya adalah akun Jouska yang pasti udah jadi akun favorit sejuta umat Indonesia untuk belajar melek finansial (buat yang masih belum tau, bisa cek di @jouska_id). Gue inget betul konten yang gue baca pertama kali adalah pesta pernikahan yang berujung hutang gak selesai-selesai. Gue bergidik ngeri ketika membaca Highlights Jouska satu per satu. Masalah keuangan ternyata bukan masalah sepele. Gue sendiri sejauh ini engga pernah punya masalah keuangan yang serius banget atau punya habit keuangan yang buruk (amit amit deh ya). Gue akui gue masih bisa kontrol diri dalam ngatur keuangan, mental gue masih dalam kondisi waras. :p
Sejak lulus kuliah, gue pernah mengalami perjalanan keuangan bagai roller coaster ride, naik turun, muter-muter, pusing. Gue memulai karir dengan bayaran yang tidak seberapa, pernah dizolimi urusan duit sama orang, ilang barang yang dibeli dengan harga lumayan dan lain-lain. Meski begitu, gue masih bisa nabung dikit-dikit. Ketika kondisi membaik, penghasilan gue jauh lebih baik, gue juga tidak pernah mencoba menghabiskan uang gue dalam semalam. Mungkin ini pengaruh dari emak gue yang kuat banget kalo urusan saving, dan kata-kata emak gue yang selalu gue ingat dari gue kecil “kita gak Cuma hidup buat hari ini, tapi ada hari lain, waktu lain”. Gak nyangka ternyata kata-kata itu terus ada di alam bawah sadar gue, dan mendorong gue untuk spend money wisely.
Kembali ke cerita Jouska tentang masalah keuangan dari kisah nyata klien mereka, gue semakin merasa ngeri kalau ternyata masalah keuangan orang orang itu banyak banget dan luar biasa bikin gila. Sempat gue seharian ngabisin waktu buat baca-in konten Jouska, dan gue semacam mendapat enlightment a.k.a pencerahan untuk belajar lebih serius soal keuangan dan investasi. Melek keuangan itu penting banget dan gak melihat apa lo lagi banyak duit, biasa aja atau lagi bokek. Di level keuangan apapun, lo bisa (bahkan harus) belajar untuk menjadi melek keuangan. Kita gak pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan, so we have to prepare ourselves. Di masa-masa wabah COVID-19 seperti sekarang ini, belajar keuangan menjadi hal yang gak bisa ditawar-tawar lagi.
DISCLAIMER : Postingan ini bukan mengajak teman teman pembaca untuk melakukan hal yang sama kayak gue lakukan dan tidak ada unsur paksaan. Sekali lagi, investasi adalah aktivitas yang ditentukan oleh keputusan pribadi, dan resikonya ditanggung pribadi masing-masing. J
SEJARAH SINGKAT PERJALANAN GUE SAMA DUIT (+INVESTASI)
Sebelum gue follow Jouska, gue sudah punya portofolio asset. Yang gue pahami saat itu adalah gue harus punya investasi dan gue gak bisa ngandelin simpanan dalam bentuk tabungan uang aja. Investasi itu butuh waktu dan proses, lebih cepet memulai itu lebih baik. Uang akan kegerus inflasi, dan kalo Cuma punya tabungan, uang lo bakal turun nilai nya. Tabungan bukan Investasi. Investasi harus dalam bentuk lain yang punya potensi kenaikan nilai.
Deposito
Gue memulai investasi di produk rendah resiko, yaitu deposito. Gue pernah punya uang nganggur, waktu itu niat gue bikin deposito itu biar ngurangin tabungan aja, gue sendiri kurang nyaman punya tabungan banyak-banyak, hehehe. So, harus disimpan dalam bentuk lain yang lebih susah buat nyairin nya. Dua tahun pertama, kebanyakan uang gue disimpan dalam bentuk deposito. Setoran minimal deposito juga cukup dijangkau, minimal 1 juta rupiah dan bisa gue pecah-pecah. Setelah beberapa bulan punya deposito, gue mulai nerima return yang jumlah nya se-uprit, bahkan nilai nya gak cukup buat bayar admin bank, Hehehe. Gue mulai berpikir deposito seperti gak akan bisa banyak bantu mencapai financial goal gue dalam jangka panjang, kecuali gue punya uang nganggur minimal 5 Milyar yang bisa kasi gue return yang cukup buat hidup sebulan. Deposito gue pun habis untuk menambah modal nikah. J
Setelah berkutat sama deposito, gue mulai denger soal reksadana dari temen gue yang kerja di bank. Dia bilang return Reksadana lebih gede dari deposito. Tanpa pikir panjang, gue langsung pergi ke bank dan nanya soal reksadana. Lucunya, gue sebenarnya gak paham sama sekali apa itu reksadana hahaha. Saat itu, gue pas lagi ada uang lebih dan gak ada niatan untuk beli sesuatu.
Dengan polos nya, gue bilang mau beli Reksa dana ke CS bank, dan minta dijelasin kayak apa produk nya. CS bank ngasi dua lembar tentang produk-produk reksadana, disitu gue liat tabel berisi angka, dan gak tau apa artinya, Hahaha. Gue pun milih dua produk reksadana secara random, Cuma ngeliat dari nama Manajer Investasi nya doank, kayaknya nama yang gue pilih amanah, HAHAHA! Finally Reksadana resmi masuk ke portofolio asset gue. Yuhuu!
Emas
Produk investasi yang gue ambil berikutnya adalah emas. Waktu sekolah, gue pernah dapat beasiswa yang cair nya telat, alhasil gue harus kerja lagi buat nutupin biaya sekolah gue. Pas beasiswa nya cair, gue langsung lunasin utang SPP ke nyokap dan ternyata ada sisa uang yang lumayan. Gue lihat blog temen gue yang nyeritain pengalaman pertama nya beli emas. Di Indonesia, investasi yang paling familiar dari jaman dahulu kala itu yaa.. emas. Gue sendiri belum pernah beli emas, dan gue rasa it’s time to buy gold. Gue liat flyer kalo ada satu Bank Syariah yang menawarkan tabungan emas. Waktu gue masukin uang ke rekening tabungan Haji, gue iseng tanya soal tabungan emas. CS bank nya menjelaskan skema dan harga emas saat itu. Ternyata ada satu pelajaran yang gue dapet dari CS bank: Emas sebenarnya tidak disarankan untuk menjadi produk investasi, tapi jadikan sebagai pelindung nilai. Harga Emas cenderung bertambah tapi tidak se-agresif produk investasi lain. Saran dia: cairkan emas ketika sudah tidak produktif (pensiun) dan kita memang butuh uang, bukan untuk dimainkan dalam jangka pendek-menengah (meski akhirnya gue tau kalo ada trading emas juga).
Sayangnya bank ini tidak menawarkan emas untuk dibeli tunai. Akhirnya gue pindah ke Pegadaian. Perusahaan BUMN ini identik banget sama emas (selain jadi tempat buat gadai). Seumur hidup gue gak pernah ke Pegadaian, disitulah gue pertama kali ke Pegadaian buat beli emas secara kontan. Sama halnya kayak reksadana, gue sendiri amat sangat gak paham sama emas. Gue Cuma tau beli emas, simpan, dan jual jika butuh duit. Beli emas bukan untuk jangka pendek (kurang dari setahun), karena nilai nya gak akan jauh beda dari waktu kita beli. Waktu itu gue beli emas masih seharga Rp 571,000 per gram, dan sejak muncul wabah COVID-19 ini, harga emas langsung melambung naik, harga terakhir yang gue cek itu sekitar Rp 900,000. Dipikir-pikir kalo jual sekarang, gue bisa untung lumayan. Tapi gue urungkan untuk jual karena gue masih produktif dan kondisi sedang tidak mendesak. Semakin gue mengenal produk-produk investasi, gue merasa investasi atau bangun asset itu ada layer-layer yang harus dibangun, layer ini akan menentukan aset mana yang harus dicairkan lebih dulu (detail nya gue ceritain di bagian akhir post ini ya).
Waktu gue mulai kerja freelance, rekan kerja gue (lebih senior dari gue) cerita kalo dia lagi main saham. Dia cerita kalo punya saham kita bisa untung yang lumayan banget. Waktu itu, mindset gue sama saham itu menyeramkan sama resiko tinggi. Gue cerita ke nyokap kalo gue mau beli saham, nyokap gue ngelarang mentah-mentah, karena resiko rugi nya gede. Gue jadi takut, akhirnya gue urungkan niat gue beli saham.
Setelah gue menikah, gue dan suami memulai kehidupan rumah tangga dengan pemasukan yang sangat minim, gue bisa bilang awal nikah itu kita lumayan kere. Boro-boro mikirin nabung, pemasukan Cuma dipake buat kebutuhan sehari-hari. Karena masih manten anyar, kita juga masih suka bikin pengeluaran konsumtif kayak jalan-jalan. Kapan lagi ya kan bisa senang senang. Hehehe. Tiap ada uang lebih, kita pake jalan-jalan atau makan enak. Ternyata emang bener, kalo kondisi kere itu bikin kita engga bijak sama duit, keputusan keuangan bener-bener emotionally attached. Biasanya bawa-bawa “self reward” atau “kapan lagi pergi ama suami” atau “mumpung masih berdua” (padahal ampe sekarang masih berdua :p), kita jadi gak bijak bikin keputusan. Untungnya, gue segera tobat dan mulai sadar kalo hidup gak bisa kayak gini terus.
Tahun pertama nikah, gue beruntung tidak mendapat social pressure untuk punya rumah, mobil dan harta benda yang konon wajib dan segera untuk dimiliki pasangan. Tinggal masih di rumah ortu. Awal nikah gue Cuma punya motor, itu pun masih kredit, DP dibantu bokap, cicilan nya kita yang bayar. Gue gak kepikiran untuk ambil cicilan rumah atau mobil. Gue gak begitu suka untuk bikin komitmen keuangan dalam jangka panjang, meski gue tau diri kalo gue gak mampu beli rumah secara tunai. Hahaha.
Nasib itu emang gak bisa kita duga, mungkin gue bisa nyebut ini sebagai “Miracle of Being Married”. Pintu rejeki makin terbuka, gue mulai nerima revenue stream dari berbagai sumber : usaha, nulis buku, jadi pembicara, dan suami juga punya kerjaan yang lebih layak. Disini momentum gue untuk belajar ngatur keuangan. Gue gak ikut kelas keuangan sama sekali, dan gak ikut formula ngatur duit dari pakar mana pun, gue hanya pake insting aja setiap bikin keputusan keuangan. Beberapa prinsip yang gue pegang saat itu:
- Hindari cicilan yang kita gak tau duitnya dari mana (meski gue sempet belanja nyicil, tapi uang nya ada)
- Kalo mau beli barang, jangan langsung beli, tinggalin dulu, kalo kepikiran berhari hari, artinya beli, tapi kalo gak kepikiran lagi, jangan beli.
- Bikin pos dana cadangan, jangan sampe tabungan kosong melompong, harus ada uang meski Cuma dikit (poin ini yang biasa disebut pakar keuangan sebagai dana darurat)
Mungkin prinsip di atas belum bisa gue terapkan secara sempurna setiap bulan nya, kadang godaan datang menghampiri. Sejauh ini, gue masih on the track. Entah gue merasa makin kesini gue lebih ‘pelit’ sama diri sendiri, dan gue gak tau apakah ini berefek baik atau buruk.
Properti
Beberapa tahun kemudian, gue dan suami berhasil nabung dalam jumlah lumayan, dan mulai mikir untuk punya properti, antara tanah atau rumah. Punya rumah sendiri itu salah satu tujuan gue jika sudah berkeluarga. Gue mulai iseng-iseng browsing, liat-liat tanah, rumah, harga ruko (hahaha, kali aja ya kan bisa beli ruko). Alhamdulilah, gue bisa masukin properti ke dalam portofolio. Gue bersyukur banget bisa purchase properti pertama gue dengan uang hasil keringat sendiri sebelum umur 30 tahun. Rasanya nyes banget! J Lebih senangnya lagi, belinya tanpa kredit dari bank, belinya tetap cicil tapi langsung ke penjualnya, nyicilnya juga kurang dari setahun.
Obligasi / Bonds / Surat Hutang
Tahun 2018, gue pertama kali tau Jouska dan mulai belajar dari konten yang mereka bagi. Selain rasa ngeri yang gue ceritakan di awal postingan ini, gue juga belajar untuk optimis kalo gue bisa mencapai tujuan keuangan gue. Lewat Jouska, gue kenalan sama yang namanya Obligasi atau Surat Hutang Negara. Mirip seperti reksadana, Obligasi ini kita ibarat titip uang ke negara kita, setiap bulan kita dapet kupon atau imbal jasa dengan jumlah yang tetap. Dari situ, gue ketagihan beli bonds, karena investasi ini cukup aman dan dijamin negara. Minimum beli nya juga gak gede, minimal 1 juta, kita udah bisa memiliki obligasi. Selain dapat imbal jasa, beli Obligasi pemerintah ini juga jadi jalan kita untuk membantu pembangunan Republik Indonesia. Beli Obligasi ini gampang kok, bisa offline atau online. Ada mitra distribusi resmi yang menjual Obligasi diantara Bank atau Investment app. Dulu, gue pertama kali beli lewat Bank Mandiri (karena gue nasabah juga). Gue datang ke CS, pas bilang mau beli bonds, CS nya langsung ngasih formulir untuk dibuatkan rekening khusus. Setelah isi formulir, dia membuatkan akun online untuk beli obligasi. Jadi, tiap mau beli Obligasi, gue gak perlu datang ke bank lagi, cukup beli lewat akun online Bank Mandiri. FYI, Obligasi atau surat hutang hanya bisa dibeli dalam waktu tertentu, beda dengan deposito atau reksadana yang bisa dibeli kapan aja. Kapan waktu penjualan nya bisa dicek di website Kementerian Keuangan RI. Dalam setahun, ada beberapa produk Obligasi yang dijual.
Saham
Selain obligasi, gue dan suami akhirnya memberanikan diri untuk belajar saham. Gue dapat info dari teman gue yang kerja di IDX kalau ada yang namanya Sekolah Pasar Modal (SPM). SPM ini semacam pelatihan buat calon investor pemula, pelatihannya gratis, hanya wajib menyiapkan uang Rp 100,000 untuk setoran awal di Rekening Dana Saham. Kelas dibuka seminggu tiga kali, ada kelas offline dan kelas online dan harus mendaftar dahulu. Gue mendaftar via link berikut: https://sekolahpasarmodal.idx.co.id/jadwal. Cukup ikutin aturannya aja, dan langsung datang ke lokasi pelatihan (buat kelas offline). Karena sekarang sedang COVID-19, kelas nya Cuma dibuka online aja.
Akhir tahun 2018, gue resmi punya RDN (Rekening Dana Nasabah) khusus untuk beli saham. FYI, rekening saham dan rekening tabungan itu beda ya, tapi bisa disambungkan. Awal tahun 2019, gue resmi jadi investor di IHSG. Yup, meski belum selevel Sandiaga Uno, gue harus bangga dapet predikat investor receh! Wkwkwk. Meski udah punya RDN dan ikut pelatihan, gue beneran masih blank banget sama saham, kayanya tiap gue berkenalan sama produk investasi, gue itu selalu mengambil langkah beli dulu, pelajari nanti. Hehehe. Dari ikutan SPM ini, kita bisa tanya-tanya via Whatsapp ke staf bank mitra SPM terkait hal hal teknis saat membeli dan menjual saham.
Waktu gue coba beli satu lot, rasanya bangga banget! Hahaha. Gue beli saham bank yang mana gue jadi nasabah bank tersebut. Hehehe. Terjun ke dunia saham ternyata bener-bener membukakan mata gue sama dunia. Meski emang saham nya masih recehan, secara gak langsung, gue jadi update sama isu-isu global terus mulai sok-sok-an analisis dampak dari satu kebijakan terhadap saham tertentu. Pokoknya mendadak pintar seperti Warren Buffet! Hehehe. Suami juga ikut main saham, kita jadi punya diskusi berbobot, biasanya ngeributin mau makan dimana, eh berubah jadi ngecek saham mana yang patut dibeli. Hohoho. Saham pun bisa ditabung, artinya kita bisa beli kalo lagi ada duit. Dari proses belajar saham ini, gue paham kenapa orang menghindari main saham dan mengatakan saham itu menyeramkan.
Gue sadar kalo saham ini engga untuk semua orang. Menurut gue, sebelum terjun ke saham, kita harus bangun layer-layer investasi lain. Kalo punya duit, jangan langsung investasi ke saham, ini yang bikin jadi resiko tinggi. Banyak banget kejadian orang yang tau kalo potensi untung saham itu tinggi, akhirnya secara membabi buta masukin semua uang nya ke saham, ternyata pas pasar lagi jelek, sahamnya jatuh, pas dia butuh duit buat kebutuhan sehari-hari eh gak ada, karena semua masuk saham. Lebih parah lagi, dia berhutang untuk beli saham. Ini nih yang salah.
Setiap investasi pasti ada resikonya, PASTI. Jangan pernah percaya kalo denger ada investasi yang PASTI untung dan gak akan rugi.
Dari hasil belajar dan praktek, selain invest sana-invest sini, layer investasi itu harus dibikin. Layer itu gimana? Setiap orang kan punya tujuan keuangan yang beda-beda, inti dari ngatur uang itu kan kita bisa atur untuk keperluan saat ini sama masa depan. Investasi bicara masa depan, tapi kita jangan sampe lupain masa kini. Itu kenapa kita perlu bikin lapisan-lapisan investasi secara berurut supaya tujuan keuangan saat ini aman sentosa. Gue mengurutkan produk-produk investasi dari level kebutuhan saat ini, kayak gini :
Tabungan – Deposito – Reksadana – Emas – Saham
Untuk kebutuhan saat ini, gue akan memakai tabungan. Jika tabungan gak cukup, gue akan ngambil dari deposito, kalau masih belum cukup, gue akan ambil dari reksadana, dst. Saham itu gue taruh di layer terakhir, karena nilai nya yang fluktuatif dibanding deposito. Misal saham ditaro di layer awal,pas gue butuh duit, harga saham anjlok, alhasil gue rugi karena jual dibawah harga beli. Kayak sekarang ini, lagi wabah COVID-19, hampir semua saham nilai nya anjlok, super anjlok. Posisi harga saat ini, gue merugi banyak kalo saham dijual sekarang, tapi berhubung gue masih ada uang untuk kebutuhan sehari hari. Saham tidak akan gue usik, kecuali memang mendesak sekali. Mengatur keuangan itu jangan terlalu fokus sama target masa depan, sampe lupa kalo kita butuh uang untuk hidup. Biasanya kan awal awal jadi investment snob, bawaan nya pengen naro duit di saham semua, eh terus gak ada tabungan buat bayar tagihan sama makan, hehehe. Gak gitu juga.
Dana Darurat
Selain punya portofolio investasi, kita harus punya DANA DARURAT. Ini hukumnya wajib di dunia finansial. Dana Darurat ini sekumpulan uang dengan jumlah tertentu dan gampang dicairkan ketika ada sesuatu yang mendesak. Jumlah dana darurat yang harus dimiliki tiap orang beda-beda, tergantung kondisi masing-masing. Ada yang bilang minimal 3x pengeluaran bulan, ada juga yang bilang 12x pengeluaran bulanan. Dana darurat bisa disimpan dalam rekening tabungan atau reksadana pasar uang, pokoknya yang gampang dicairkan dan nilainya gak naik turun. Dana darurat ini bisa dipake kalau sedang ada musibah, mendadak di-PHK, atau sakit sehingga kita gak bisa mendapatkan income. Wabah COVID-19 sekarang inilah kita sebut kondisi darurat, nyari duit lebih sulit, gak bisa kemana-mana, dan kondisi sekarang ini biasanya kita manfaatin dana darurat. Bayangin kalo semua duit masuk ke saham, tabungan gak ada, dana darurat gak ada, trus selama di rumah makan pake apa? Jual saham malah rugi bandar. Lucunya, gue malah baru mendisiplinkan diri untuk bikin pos dana darurat yang lebih ketat setelah bangun portofolio asset. Pos dana darurat gue masih suka-suka dan gak tentu. Akhirnya gue mulai strict untk bikin pos dana darurat dan gak terus-terusan mikirin investasi. Apalagi lagi kondisi sekarang ini, cash is the king. Prioritas sekarang itu gimana caranya bisa makan dan bertahan hidup sampe kondisi membaik, bahkan kita pun gak tau kapan COVID-19 ini hilang dari muka bumi. Kita hanya bisa mempersiapkan sebaik-baiknya, tapi sisanya tetap di tangan Tuhan.
Gue sendiri sadar kalo belajar keuangan itu step by step, gak bisa ujug-ujug dan gak bisa dipaksa orang lain. Ibarat mau fasih mengaji, langsung disuruh baca Qur’an, kita perlu belajar Iqro, terus tajwid, terus Juz Amma, dst. Ketika gue lagi semangat-semangat nya belajar investasi, gue mencoba nularin ke temen-temen terdekat, gue pikir ini hal baik yang perlu mereka tau, dan ternyata engga semua orang punya semangat yang sama seperti gue, ada yang memang belum minat investasi karena alasan tertentu, ada yang tertarik untuk naro di deposito dulu, tapi belum berani ke yang lain-lain. Itu hal yang wajar. Belajar keuangan gak bisa dipaksa dan setiap orang akan merasakan proses nya. Dulu gue ngira, belajar perduitan gini akan bikin kita otomatis jadi serakah, tapi ternyata engga juga. Ada banyak banget hikmah yang gue dapet, gue jadi lebih hati-hati dalam spending, jadi tau mana yang prioritas mana yang engga, dan yang gak disangka, gue justru berkenalan sama dunia minimalism (I’m gonna write a post about this later).
Sekian postingan perdana gue soal duit, asik juga ya ternyata ngomongin duit, duit emang masih terkesan tabu, tapi bukan berarti dilarang untuk tujuan belajar, ya kan? InshaAllah gue bakal post cerita lain soal duit, postingan ini masih general banget, kalo ngomongin duit mah gak akan abis-abis, hehe (ngomong sih gak abis abis, tapi duitnya abis) Semoga bisa ngasi manfaat walau sedikit. Kalau teman-teman pembaca disini mau sharing-sharing soal keuangan atau investasi, silahkan drop your comment di bawah ini ya. Sekali lagi, I’m not an expert, but I love to discuss with you!
MELEK KEUANGAN ADALAH HAK SEGALA BANGSA
Salam dana darurat!