Foto Joe Biden dan Barack Obama saling berpelukan lagi beredar di social media, Obama ngasi selamat ke Joe atas kemenangan dia sebagai presiden AS yang ke-46, sepertinya warga AS (dan banyak orang di belahan dunia lain) sedang merayakan post-Trump administration dengan gegap gempita. Menurut gue, kepemimpinan Trump layak diberi pasal penistaan karakter pria, hehehe. Tepat tanggal 20 Januari 2021, Joe Biden resmi jadi Presiden AS dan Trump resmi masuk daftar “the US president who only served one term”.
But, let’s forget those men for a while, seeing this bromance of Biden and Obama in one photo, Michelle Obama and Dr. Jill Biden just popped up in my mind. I really adore Biden and Obama couples; both of them are strong, full of respect and supportive. They see themselves as self-driven individuals as well as complementary couples. Nothing contradicts but reinforces one another.
Satu lagi yang menjadi milestone baru di sejarah perpolitikan AS, Wapres Wanita pertama yang terpilih berasal dari ras yang selama ini jarang berada di top level White House, Kamala Harris. Wanita ras campur : Kulit Hitam dan Asia Selatan yang bapak ibu nya juga imigran yang datang ke AS untuk sekolah. Meski gue engga gitu tau sepak terjang nya beliau dan gak gitu ngikuti perkembangan politik AS secara detail, terpilihnya Kamala Harris ini menjadi secercah harapan bagi banyak perempuan.
Gue rasa ini beresonansi dengan kegelisahan perempuan yang kadang merasa dunia ini tidak berpihak pada perempuan, apalagi ketika masuk ke dunia yang sangat male dominated. Of course, I strongly felt the same, when I associate my current involvement in the game industry, where it’s quite male dominated. You’re treated different because you are woman, orang meragukan kemampuan gue hanya karena gender, gender inequality sering gak keliatan pake mata tapi sering terjadi di tengah tengah kita. Gue rasa ini waktu nya bersuara.
USA memang negara yang penuh kontroversi, gue juga tidak mau mengglorifikasi USA sebagai the only role model, tapi gak bisa dipungkiri, Amerika Serikat selalu jadi center of attention untuk hal hal yang terkait keadilan, kesetaraan, dan lain-lain. Tentunya ada banyak figure di berbagai belahan dunia yang mungkin jauh lebih menarik dibanding tokoh-tokohUS ini, hanya saja gak dapet banyak ekspose.
Di tengah momentum perempuan pertama yang terpilih jadi VP (dan tentunya bukan kepilih karena politik monarki atau plutokrasi loh ya), I think I need to share my voice by celebrating this progress. To be honest, I cried listening to Kamala Harris speech, something from her speech just touched my soul. Gue pernah mengalami kegelisahan menjadi seorang perempuan, I was once believe that “woman has its own limit, once you reach into certain level, there might be a time that you need to stop, because you’re a WOMAN”. Kemudian, banyak wanita yang terus dihantui rasa insecurity dan inferiority sampai akhir hidupnya. I hate to say this, but it true exists, sering gak disadari, sering gak keliatan. Gue bisa menemukan ini setiap kali gue jadi narasumber seminar, banyak banget pertanyaan yang diajukan partisipan perempuan yang gak jauh dari rasa insecure “bagaimana perempuan bisa diterima?” “bagaimana membangun rasa percaya diri?” “bagaimana jika gagal?” meski kadang ada juga peserta laki-laki yang menanyakan hal serupa, tapi tidak sebanyak perempuan. Gue lihat laki-laki sudah mengantongi kepercayaan diri yang lebih dibanding perempuan karena budaya atau common belief masyarakat terhadap laki-laki (cowok harus kuat, cowok gak boleh nangis). Observasi gue menjadi lebih terbukti ketika kolega gue memberi tahu hasil penelitian tentang tingkat partisipasi saat melamar kerja mengacu pada persyaratan. Laki-laki akan mengirim lamaran ketika melihat dia memenuhi minimal 30% dari persyaratan yang diminta, sedangkan perempuan akan mengirimkan lamaran ketika melihat dia memenuhi minimal 70% dari persyaratan. See?
As I grew older, I knew the idea of “limiting women to achieve dreams” was wrong, and I am thankful that I can stay out of that society with the narrow mindset of how women should live. Gue pernah insecure saat masih single karena belum menikah, karena persepsi umum masyarakat melihat perempuan akan dianggap memenuhi standar apabila sudah menikah. Gue pernah insecure gak punya kerjaan yang fulfilling, karena persepsi umum masyarakat melihat kalau perempuan dewasa perlu punya pekerjaan yang stabil dan bergaji besar. Akhirnya gue sadar kalau manusia seringkali hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi rata-rata masyarakat menjalani hidup. Dipikir-pikir standar ini muncul nya dari mana? Umur segini harus jadi sarjana, umur segini harus punya calon, umur segini harus menikah, umur segini harus punya rumah, dll. Pernah gak sih kita disuruh mencet tombol “pause” trus bertanya kembali ke diri kita “how do you define your own life?” “How do you define your own happiness?”. I don’t think so, at least to my own experience. We sometimes lost ourselves, kita sibuk didikte ini-itu dan kita sibuk mengejar sesuatu yang menjadi ekspektasi orang padahal alam bawah sadar kita berkata tidak dan kita tidak banyak berkomunikasi sama diri sendiri. Kita lupa bahwa kita perlu memberi ruang ke diri sendiri untuk melihat ke dalam diri kita kalau kita punya punya potensi dan kekuatan. Gue percaya Tuhan menciptakan kita bukan karena iseng, tapi kita diciptakan dengan sebuah alasan dan tugas kita mencari tahu kenapa dan untuk apa.
Bicara soal mencari pasangan dari sudut pandang perempuan, I always believe in a marriage. Menikah adalah salah satu fase hidup yang ingin gue jalani, menikah yang diputuskan secara sadar bukan karena apa kata orang. Sebagai manusia, gue percaya hubungan yang stabil dalam balutan komitmen bisa memudahkan hidup gue sebagai orang dewasa (meski tidak ada jaminannya, once again.. marriage is a choice, and every choice comes with a risk). Somehow.. it’s true IF we find the right one. I am married to a great man who just let me doing everything I want without worrying about his insecurity. I am totally blessed with this relationship, gue tau beberapa gue kenal masih takut menikah karena hal ini, ketika menikah dengan pria yang tidak sejalan dengannya, perempuan akan merasa dibatasi dan pernikahan seperti dianggap sebuah “perhentian permanen” and all dreams will be gone as soon as you’re married. Akhirnya, ada sebagian yang berkompromi, ada sebagian lagi yang tetap menjalani hidup sendiri daripada hidup bersama orang yang tidak tepat.
Kehadiran pasangan Obama dan Biden ngasi secercah harapan, gue selalu kagum sama pasangan yang tidak melihat pasangan nya sebagai kompetitor, entah dalam urusan duit, power, tampang. Dr. Jill Biden seorang guru yang menyelesaikan PhD-nya di bidang pendidikan, and she is a passionate teacher while Biden is trying to earn power in politics, both of them are doing well. Kadang gue kepo, waktu Dr. Jill Biden beres PhD, Joe pernah insecure gak ya karena dia belum PhD kayak bininya?
Keunggulan pasangan bukan menjadi ancaman, justru bisa menguatkan satu sama lain. Gue juga baru tau kalau Kamala Harris menikah di umurnya yang udah gak dibilang gak muda, dan suami nya seorang pengusaha yang kelihatan santai banget liat istri nya kepilih jadi VP. Gue suka banget pas Kamala dan suaminya, Doug Emhoff diajak diskusi soal panggilan apa yang pas buat suami nya ketika Kamala resmi jadi VP, “Second gentlemen?” ,”Second guy?”,“Second dude?” Hehehe. Identitas dia engga jatuh hanya karena istrinya jadi VP. I see this as a progress in normalizing woman doing her own thing, not just thing, but valuable and mission driven thing. Perempuan tentunya bisa kerja sendiri, berkembang sendiri, tapi support system juga ngasi pengaruh besar agar perempuan bisa lebih berkembang ke level optimal. Peran suami, anak, orang tua, mertua dari perempuan ngasi andil yang besar. Kita udah lihat banyak sisi positif dari kehadiran perempuan sebagai pemimpin. Sebut aja Jacinda Andern, Angela Merkel, Bu Risma. Gue inget kata mbak Alisha Wahid, ada buku yang menceritakan bahwa ada sebuah value yang tertanam dalam diri seorang perempuan yang bisa ngasi impact yang sangat kuat ketika dia memimpin atau membuat keputusan, dan ini gak bisa ditemukan di laki-laki.
Balik lagi ke Kamala Harris, gue senang melihat fenomena yang bisa membawa secercah harapan buat perempuan-perempuan, termasuk gue. Anak-anak perempuan punya role model baru: perempuan yang mau mengambil peran, self-driven, dan tidak cuma hidup dengan prinsip “udah terima aja”. Gue juga berharap akan muncul semakin banyak muncul figur laki-laki yang mampu memberi ruang bagi pasangan nya, tanpa harus merasa insecure atau hilang harga diri karena pasangan nya bisa berhasil mencapai mimpinya.
Belakangan ini, gue suka banget dengan kata ‘progress’ (this also becomes a favorite word of struggling PhD students, haha), instead of pursuing a quick perfect result. Sepertinya kita perlu menyadari bahwa the world is making a progress, meski mungkin belum sesuai yang kita harapkan. I give credit to Factfulness (a book written by the Rosling family), I am thankful because the way I see the world is completely different now, and it keep me believe in making a progress by doing what I believe in. Regardless of your gender: men or women, you have the right to fight for your dreams.
2021: it is the time to normalize woman doing every freaking thing she wants. Jangan hancurkan mimpi perempuan dengan menutupi potensi dirinya. Gue pernah diskusi sama temen gue yang penelitian nya tentang gender, kami membahas soal pernikahan remaja, hamil di luar nikah, perceraian dan kekerasan rumah tangga pada keluarga miskin, salah satu sebabnya karena perempuan dibuat lemah, gak berdaya, dan tidak terdidik, jadi dia gak punya pilihan apa-apa kecuali pola pikir hidup ini hanya bergantung pada laki-laki. Kesimpulan yang bisa kami dapatkan : Let the girls get educated. Moreover, let the world make a progress in bringing more women into leadership!
Untuk teman teman perempuan ku di luar sana yang masih merasa insecure, here I am standing with you now. Deal with it and start to work! FYI, Gue juga masih suka insecure kok, tapi gue sadar manusia punya keterbatasan, dan rasa insecurity ini bukan sesuatu yang permanen, tugas kita untuk mengolah perasaan yang beresiko menyabotase diri kita sendiri dan tidak terjerembab pada dikte-dikte orang lain yang belum sejalan dengan kemauan kita. You do you.
Tulisan ini akan gue tutup dengan meme quote: “Dear God, grant me the confidence of a mediocre white man!” 😀
PS: I don’t define myself as a feminist; this is just my personal thought. But if you think I am, then just call me anything you want: p
Here is a bonus for you: my happy look picture in DC! Let’s just say I made this post because I missed DC so much!