NGOMONGIN NIKAH DI HARI WEDDING ANNIVERSARY

Kemarin aku resmi menikah selama 5 tahun.

Waw.. 5 years marriage. Tiga ratus enam puluh lima hari dikali lima berstatus istri orang. Hehehe.

Menikah itu perjalanan yang luar biasa, gue belajar banyak hal dalam proses pernikahan, gak Cuma belajar dari suami, tapi dalam institusi menikah itu sendiri.

Setelah menikah, gue pun sadar kalau setiap orang punya preferensi yang berbeda-beda, dan kita gak bisa menyamakan persepsi pribadi sama orang lain. Ini nilai baru yang muncul dalam diri gue setelah nikah.

Mungkin dulu gue masih bertanya-tanya ketika melihat orang yang cukup umur dan belum menikah.

“Kenapa dia belum menikah ya? Ada apa gerangan?”

I found out it’s none of my business dan kebahagiaan itu bisa didapat dari sumber lain, tidak hanya dari menikah. Lah terus kenapa gue nikah?

Terlalu bias emang bila mau ngomong “Menikah itu untuk mencapai kebahagiaan”.

Apalagi buat yang habis nonton The World of The Married (gue belum nonton btw), rasanya statement di atas sangat bertolak belakang. Menikah sering dianggap proses yang penuh intrik dan beresiko bila kita gak bisa menjaga perasaan satu sama lain atau tidak bisa menahan godaan di luar sana.

Gue sendiri sadar ternyata tujuan menikah itu bukan untuk bahagia selamanya. Ada alasan setiap perempuan mengapa ia ingin menikah. Alasan gue sendiri itu seperti nya berasal dari campuran tujuan pribadi dan pengaruh budaya dimana gue tumbuh.

Gue lahir di keluarga yang tergolong ‘umum’ di Indonesia. Orang tua menikah pada umur rata-rata orang menikah, emak bapak gue udah menikah lebih dari 30 tahun dan punya anak tiga. Bokap gue orang Sumatera yang kerja jadi pegawai kantoran biasa dan cukup patriarkis, emak gue orang Jawa yang bisa dibilang devoted wife, segala urusan rumah dikerjain, plus kerja kantoran juga.

Sejak kecil, gue melihat bahwa menikah adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup gue, meski entah kapan terjadi nya. Dan pandangan gue terhadap pernikahan itu tetap sama, I believe someday I will marry someone I love then live with him.

Gue juga dididik dalam konsep patriarki, seperti perempuan harus bisa masak, harus bisa bersih-bersih, harus bisa ngurus anak dll. Dan melihat laki-laki itu tidak pantas melakukan pekerjaan domestik. Nyokap gue orang Jawa, tau sendirilah ya kayak apa adat Jawa.

Untung nya ortu gue dosen dan sangat menjunjung tinggi pendidikan. So, gue disiapkan sebagai anak yang berpendidikan, gak Cuma untuk dinikahin.

Yang gue inget dari dulu itu, kalau nanti lulus S1, fase berikut nya ya menikah. Kenapa? Karena semua melakukan hal yang sama. Itu kenapa banyak banget perempuan yang mulai ‘invest’ nyari suami dari jaman kuliah S1, supaya nanti pas lulus, ada yang meminang dan dapet rasa aman karena ‘udah ada calon’. Buat yang belum dapet, mungkin masih harap-harap cemas, dan berharap bisa ketemu di lingkungan kerja atau social circle yang lain.

Gue pernah punya cita-cita menikah umur 23 tahun, alasannya? Karena gue lahir tanggal 23. Hahaha. Gak penting banget ya. Umur 23 tahun itu pas banget lulus, jadi gak ada salah nya kan nikah.

Hingga lulus kuliah, terus kerja sambil usaha kecil-kecilan, gue masih memegang teguh kalo gue akan menikah dan berusaha untuk cari calon suami. Sempet desperate juga, ketika liat teman satu per satu menikah. Ada rasa lonely dalam diri. “kenapa gue belum dapat juga?”

Perasaan insecurity terus muncul, tapi untung nya tidak menghambat diri gue untuk mencapai mimpi gue : Study Abroad, a.k.a sekolah keluar negeri.

Gue berterima kasih sama kegigihan gue untuk mengejar cita-cita, dan tidak hanya bergantung pada kegalauan asmara, dan tidak berniat mengurungkan cita-cita gue.

Lagi lagi, tantangan perempuan Indonesia muncul ketika dia ingin achieve sesuatu, muncul lah orang-orang yang hadir dan berkata: “ngapain sekolah tinggi-tinggi, entah cowo pada takut loh..”

“Prestasi lu kebanyakan, cowo jadi minder deketin lo..”

Gue inget persis ada beberapa orang berkata demikian, dan sempat mengganggu pikiran gue. Gue sempet merasa “apa iya kalo perempuan ngejar cita-cita akan berbanding terbalik dengan peluang dapat suami?”

Baru belakangan terakhir gue menyadari bahwa apa yang gue alami ini begitu toksik buat perempuan. Mematikan harapan, dan mengajarkan perempuan untuk “udahlah..”. Akhirnya gue sudah tahu dimana gue harus berdiri, I will fight against that toxic mindset.

Takdir pun membawa gue ke Jerman untuk bersekolah, saat itu gue galau banget karena gue sempat berpikir kalau gue sekolah di LN setahun, mungkin kesempatan gue menikah akan makin mundur. Di Jerman, gue mau nikah ama siapa? Ama bule? Hahaha. To be honest, gue gak nyari bule, saya mah cinta orang Indonesia J (sejak ngefans ama BTS, saya cinta juga ama orang Korea, hahaha, duh maaf halu-nya kumat). Gue sendiri gak paham kayak apa kota gue tinggal dan gimana kehidupan nya.

Dan emang hidup ini ajaib ya.

Di kota yang puluhan ribu kilo jauh nya dari Indonesia, gue justru ketemu my future husband.

Gila banget deh kalo dipikir-pikir. Fase pertemuan gue dengan my husband ini beneran mengubah persepsi gue soal Jodoh.

It’s all about the right time and the right place. No matter if it looks impossible to you, but it will come for those who wait at right time and place.

Kami berdua sama sama pelajar Indonesia, domisili daerah berbeda, dan aneh nya, we don’t have any mutual friends in Facebook at all! Yes, at all! Ajaib banget deh, di jaman sekarang, gue merasa setiap orang itu connected each other, at least pasti ada satu mutual friend.

My husband came from outside of my circle, wow!

Our first met is pretty fast (and I think I have written the story before, so I won’t tell you in details how we met).

The weird thing from my first interaction to the man who now become my husband is “I just had an instant feeling that I will marry him”. Yes, and it was never happen to me before.

Serius, waktu suami gue nganter pulang ke asrama, there were butterflies in my stomach. Dalam hitungan detik, I just knew that he’s the one.

Then, yeah, we got married after 2 years knowing each other.

Frankly speaking, waktu gue mulai dekat sama suami gue, gue sempat bawa bawa rasa takut. Pernah terpikir “kalau suami gue tau gue punya prestasi berderet, gue pernah masuk TV, dia bakal insecure ga ya? Dia bakal jadi takut trus malah jauhin gak ya?”

Gue sempat menyembunyikan identity gue beberapa bulan dari dia, supaya dia melihat gue sebagai ‘perempuan biasa’, gue sempat berusaha untuk tidak terlihat “Alpha”.

Ternyata gak bertahan lama, seorang teman membagikan video gue bersama karya gue di grup PPI, dan jedar! Gue kepikiran. Apa ya respon suami gue? Apa benar laki laki akan takut sama high achiever woman?

Kami berdua lagi sepedaan ke  perpus, gue iseng nanya “Mas, gimana habis liat video ku.. “

“Ya bagus..”

“Oh gapapa tuh?”

“Gapapa gimana?”

“Ya aku punya beberapa achievement.. gak masalah kan?”

“ah gapapa, emang kenapa?”

“Oh engga, hehehe”

From those conversations, I found out that I lived in a narrow minded environment who thinks that getting some achievements might treat your future relationship. I was totally wrong.

At least I proved it to my husband. He even didn’t care about my achievement at all. Hahaha.

I fell in love with him more since that time. He even encouraged me to continue PhD study. He didn’t feel insecure at all. He loves to follow me, if I have to study.

The way I see men is totally changed.

Every conversation I had with my husband strengthened my decision to get married.

Why these conversations matter to my marriage decision?

Karena tujuan gue menikah adalah punya pasangan yang mendukung pilihan gue dan memberikan kesempatan untuk mengejar apa yang gue cita-citakan. Gue gak mau menikah kalo hanya disuruh di rumah, gak boleh ngapa-ngapain, dan apa-apa dilarang hanya karena ego-nya yang tertusuk.

Menikah itu komitmen seumur hidup, jadi prinsip hidup harus disampaikan secara terbuka sama pasangan. And we did it before we got married.

My standard is not your standard. Setiap orang punya standar menikah yang beda-beda.

I’m glad my husband supports marriage equality. Kita berbagi peran dalam rumah tangga, berusaha fleksibel dan saling bantu. Sebenarnya ada banyak contoh-contoh laki-laki dari kelompok public figure, yang gue inget itu Lee Sang Soon, suaminya Lee Hyori. I think their marriage life resembles on our marriage.Itu kenapa gue nonton Hyori Bed and Breakfast sambil senyam senyum sendiri, hehehe.

Marrying my husband taught me lots of things. Kadang kita mirip, kadang kita beda jauh. Kadang kita ketawa ketiwi, kadang kita ngomel ngomel. We don’t have a perfect insta-look marriage, but we’re still enjoying our marriage life.

Gue yakin ini dialami banyak pasangan, kehidupan rumah tangga kita kadang dikritik sama ortu sendiri. Sesimpel kayak nyokap gue yang terbiasa nyuguhin teh panas buat bokap. Pas gue gak ngelakuin hal yang sama, gue diomelin, dianggap gak perhatian. Padahal laki gue gak gitu demen teh panas, dan dia suka ngeracik minuman dingin sendiri. Hehehe.

Gue inget kata-kata Atiqah Hasiholan, “hubungan sebuah pasangan yang terbaik itu ketika yang satu berusaha memberi yang terbaik, dan yang satu lagi tidak banyak menuntut”

I think this sums up how this modern marriage works. Implementasinya? Masih jauh sih hahaha. Gue masih suka minta dimanja, gue masih suka nuntut-nuntut macem-macem. Pokoknya ada ada ajahhh… 5 years marriage, and still not having a perfect relationship, and it’s okay. As long as we respect each other.

Dari proses menikah ini, gue juga jadi paham kenapa gue mau menikah. Gue mendapat rasa aman. Rasa aman inilah yang membantu gue untuk pergi ke the next step. Punya pasangan yang mendampingi dan mendukung, gue gak perlu mikir-mikir lagi siapa yang akan menemani gue saat gue melanjutkan mimpi gue.

Tapi, tidak semua orang punya tujuan yang sama seperti gue, ada yang berumur 30 tahun, tapi masih mau senang senang sendiri. Ada yang berumur 34 tahun, tapi masih mendalami karir. I respect all of that.

Everyone has their own reason for getting married and staying single. There is nothing wrong with that.

I have my own value, and they also have theirs. It’s different, but it’s our right to respect.

Dari pernikahan ini, gue belajar untuk menghargai setiap keputusan orang dan tidak mudah menghakimi pilihan orang. Mau tetap single, mau nikah muda, mau nikah di atas 35 tahun, mau punya anak, mau nunda atau mau tidak punya anak. It’s all fine.

Selama menikah, gue bersyukur banget diberi supporting system yang baik seperti suami gue. Senang juga dia dapet kerjaan untuk empowering women, jadi pekerjaan dia bisaikut menanamkan value kalau perempuan itu harus tangguh, bukan gak berdaya dan hanya nunggu suami nya. We talked a lot about this in our daily conversation. Bagaimana membangun rumah tangga yang ‘setara’ dan menghapus asumsi-asumsi kalau wanita itu tidak melek ilmu/informasi. Punya suami itu ya jadi tempat bertukar pikiran sekalian rekan berdiskusi, dari level receh sampe level berat.

My husband and I don’t declare ourselves as feminist. Tapi gue percaya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berkarya, memperoleh informasi, dan belajar itu penting. Gak disangka persona suami gue ini kadang jadi panutan beberapa kenalan gue, bahkan mereka nanya dimana bisa nyari pasangan kayak suami gue, hahaha. Wah gimana ya. Ada saran how to get a pro-women empowerment-future husband? 😀

For the closing, I wanna say..

Happy anniversary my husband, let’s rock our marriage and keep supporting each other! Please cook me more food ya! Can’t wait to travel the world with you! (of course, after all this pandemic is over)

@annisaa_potter