Ruang Bermain Bocah di Pinggir Jalan Tol

“ The true object of all human life is play. Earth is a task garden; heaven is a playground.”

– Gilbert K. Chesterton

Muqqadimah: Ini adalah tulisan yang pernah saya buat di sekitar tahun 2000-an, mungkin saat saya masih kuliah S-1. Entah saya lupa tulisan ini dibuat dalam rangka apa, yang bisa saya ingat itu saya tiba-tiba teringat dengan memori masa kecil saya yang sering dihabiskan di pinggir jalan tol untuk bermain. Rumah orang tua saya berada di pinggir jalan tol Jagorawi. Tulisan ini saya temukan di sebuah folder, saya baca kembali, saya merasa ceritanya manis sekali, dan sayang kalau tidak dibagikan, dan saya merasa semesta memberi tanda sejak lama bahwa perjalanan hidup saya akan mengarah pada dunia bermain (game) 🙂 Selamat membaca!

Saya ingin sedikit bercerita tentang halaman bermain saya sewaktu kecil. Halaman bermain yang tidak biasa, bukan seperti taman bermain yang dilengkapi oleh wahana-wahana serodotan ataupun ayunan (yang biasanya ada di perumahan komplek). Halaman bermain ini tidak ada ayunan, juga tidak ada serodotan. Halaman bermain saya jauh lebih luas dari taman komplek rumah. Halaman bermain saya (mungkin) mampu mengakomodir semua kegiatan, mulai dari bermain ibu-ibuan, bermain layang-layangan, hingga peringatan 17 Agustus. Apa saja bisa dilakukan disana, halaman bermain saya itu bagaikan ruang yang tidak terbatas bagi mata, telinga, dan tubuh saya untuk berekspresi.
Saya tinggal di satu kelurahan (atau tepatnya kampung) yang terletak di pinggiran tol Jagorawi. Kalau ada yang bertanya, “rumah kamu dimana?” saya akan jawab “di pinggir tol”.
Sedikit ambigu, tapi yah memang begitu.
Saat itu, saya memiliki banyak teman bermain yang berasal dari kelurahan yang sama. Kami memang anak ‘pinggiran’, tapi kami bisa bermain apa saja. Saat saya masih berumur 7 tahun, permainan digital masih belum populer, sehingga kami banyak menghabiskan waktu bermain di luar rumah. Mulai dari jalan setapak hingga di padang rumput pinggir tol.
Inilah halaman bermain kami. Pinggiran tol jagorawi.
Hamparan padang rumput luas memanjang di pinggir tol dekat rumah. Tempat itu telah menyimpan sejuta memori indah bersama teman-teman kecil saya saat itu . Sudah bertahun-tahun lamanya, saya dan teman-teman menghabiskan waktu senggang dengan bermain-main disana.
Beruntungnya menghabiskan masa kecil ditahun 1990an, dimana masih ada game ‘ucing-ucingan’. (Sekarang apa masih ada anak-anak yang main ucing-ucingan?)
Ada ucing jongkok, ucing joli, ucing benteng bahkan gabungan ucing joli-jongkok juga ada.
Kami bisa bermain ucing-ucing di padang rumput yang luas.
Saat itu, main layangan juga menjadi game yang cukup populer. Mau laki-laki, mau perempuan. Mau tua, mau muda. Semua suka main layangan.
Saya ingat, di tengah siang bolong, saya bermain layangan sendiri di padang rumput itu sampai-sampai benangnya habis. Kalau benang sudah habis, ya tinggal duduk diam saja sambil pegang gulungan benang dan mengamati layang-layang yang terbang tinggi. Daerah di pinggir tol memiliki fasilitas khusus bagi yang bermain layangan dan fasilitas ini tidak dimiliki taman-taman lainnya,, yaitu banyaknya angin yang bersahabat untuk menerbangkan layangan.
Menyenangkan sekali bermain layangan disitu. Panas terik membakar kulit sudah dilupakan begitu saja karena keasyikan bermain.
Sore harinya, saya dan teman-teman akan sibuk menyiapkan makanan untuk makan bersama, kami menyebutnya dengan istilah ‘papadangan’ atau makan bersama di suatu ruang terbuka.
Ramai-ramai, kami semua pergi ke pinggir tol, menggelar tikar, lalu duduk dan makan bersama. Sambil ditemani suara deru mobil dan truk yang lalu lalang di jalan tol.
Meski berisik, tapi menyenangkan sekali.
Di halaman bermain itu, ada banyak kubangan-kubangan lonjong berdiameter 1,5 meter dan dipenuhi rumput-rumput liar. Saat kering, kami biasa bermain perang-perangan disana. Membangun benteng, bersembunyi di kubangan, membidik lawan yang juga bersembunyi di kubangan lain dengan pistol tanaman buatan sendiri. Saat hujan, kubangan tersebut akan berubah menjadi kola-kolam kecil. Kami pun langsung menceburkan diri ke dalam kubangan, dengan penuh tawa. Tanpa rasa takut akan muncul cacing, kodok atau serangga air.
Kotor, tapi menyenangkan sekali.
Segala memori menyenangkan di padang rumput pinggir tol itu masih tersimpan jelas di benak saya (dan mungkin teman-teman kecil saya). Halaman bermain di pinggiran tol itu telah menjadi saksi bisu tentang budaya bermain anak-anak tahun 1990-an. Tanpa gadget, tanpa listrik. Alam-lah yang menjadi gadget kami.
Waktu pun berganti, saya tumbuh besar, begitu juga teman-teman kecil saya, sebagian masih menetap di kampung, sebagian lagi berpindah ikut orang tua. Kami pun tidak lagi bermain di pinggir tol. Perlahan kami meninggalkan taman itu. Mencoba melihat dunia baru di luar sana. Halaman bermain pinggir tol itu pun sempat terlupakan.
Hari berganti hari, kampung saya pun menjadi semakin padat dengan bertambahnya areal pemukiman. Selain itu, sebagian masyarakat warga setempat semakin merasa sulit untuk mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Hingga, mereka pun meilirik padang rumput yang luas tersebut, halaman bermain kami sewaktu kecil. Dan akhirnya, padang rumput itu pun berubah menjadi kebun singkong. Rumput tidak akan memberikan keuntungan langsung kecuali pakan ternak, tapi kebun akan memberikan keuntungan secara langsung dari hasil panen. Padang rumput itu pun hilang. Kubangan-kubangan itu juga ikut hilang.
Suatu ketika, sepulang dari sekolah, saya melewati padang rumput pinggir tol itu. Saya pun terhenti sejenak. Kemana halaman bermain saya?
Kenapa semua berubah menjadi kebun singkong? bahkan ada kebun baru yaitu tanaman jagung yang baru ditanam.
Saya pun tersadar bahwa tidak ada lagi ruang bermain bagi saya dan rekan-rekan kecil. Padang rumput itu telah berubah menjadi kebun yang ditanami tanaman pangan yang padat merapat. Terlebih lagi, padang rumput itu juga diblok oleh pagar semen tebal yang memisahkan padang rumput dengan kampung saya. Memberikan pesan bahwa padang rumput itu tidak lagi dapat diakses. Namun bagaimana lagi, padat rumput itu bukan milik saya, saya hanya meminjam saja untuk bermain sejak kecil. Namun, padang rumput itu telah menjadi satu-satunya halaman bermain terbaik bagi saya. Mengajarkan saya bagaimana indahnya bermain dengan rumput, bermain dengan pohon pisang, bermain dengan tanah.
Betapa beruntungnya saya hidup di zaman itu. Menghabiskan waktu di luar sana. Merasakan angin, mendengar deru kendaraan, berteriak sesuka hati dengan teman-teman, dan berguling-guling di atas hamparan rumput.
Memori masa kecil saya pun perlahan menghilang, dan saya pun kembali ke masa kini. Lalu, saya bertanya-tanya dalam hati, “bagaimana dengan kondisi anak-anak yang saat ini?n Mereka yang sudah banyak mengenal dunia game digital, apakah mereka masih mau bermain diluar sana? Lalu, apakah masih ada ruang bermain bagi mereka di tengah-tengah arus perubahan lahan yang kian cepat? Terpenting lagi, apakah mereka akan memiliki kenangan bermain di luar sana ketika mereka sudah tidak memiliki ruang bermain lagi saat mereka kecil?“

@annisaa_potter

Read More

20 – 30 : In Between

Rasanya kayak baru kemarin gue menginjakkan diri ke umur gue yang ke 20. well I know not-so-yesterday, but not-so-10-years-ago.. rada lebay sih kalau bilang baru kemarin..

Tapiii, gila men, 10 tahun sudah berlalu.. gue keinget waktu gue masuk ke umur 20 tahun.. gue yang begitu enerjik ngelakuin apapun, punya segudang mimpi, suka kesana kesini, dan siap melihat dunia, pokoknya unstoppable! Yeah, that time was the highest energy I had in me.

Gue mengawali hidup gue sebagai twenty something dengan mimpi yang tergenggam erat di tangan gue. Gue gak peduli orang ngomong apa, It’s all ABOUT ME! (egois kan? Hehe)

Betapa excitednya gue menapaki umur 20, karena saat itu gue tahu, umur 20 itu masa terbaik untuk ngelakuin apa aja yang lo mau.. lo sah secara orang dewasa, dan lo sah buat apa aja, itu yang gue pikirin. (lo mikir gitu juga gak?)

Buat gue, umur 20 itu sangat sangat amat krusial, lo akan mutusin pilihan hidup setelah kuliah (kerja, lanjut sekolah, usaha atau ngapain kek yang penting tetep solat), lo akan mutusin untuk menikah (gue dulu punya target menikah umur 23 tahun, meski meleset 3 tahun, tapi gue sadar ternyata menikah itu bukan perkara target-targetan, lo mo jadi manten atau jadi sales sih Nis?), lo akan menemukan siapa aja orang yang akan tetap stay dalam hidup lo (well, I know that I can’t make everyone happy), lo akan mengenal  lebih dekat dengan uang (nah ini seru banget buat dikupas), dan lo akan bisa meluruskan tujuan hidup lo ke depan. Bahkan to be honest, I don’t even care about money, NOT YET till I reach 27 years old. Hahaha.

Pesan Papa Kiyosaki kan gini “In your 20s, Work to Learn, not to Earn

Soooo, gue mutusin untuk menghabiskan 10 tahun dalam fase umur 20an itu dengan mengejar mimpi yang gue inginkan.. travel the world, publish a book (even I published two books), appeared on TV and newspaper (my first media appearance was in SINDO Newspaper!), win international award, run a business,  study abroad, buy a piano dan main sepuasnya, I wanna live my life with what I want to see, what I want buy, what I want to do..

And yes, I did it. Meski gak semua mimpi or jajaran dream list tercapai, but I’m glad I made some of it. Awal nginjak umur 20 tahun, gue ngira hidup ini kayak garis linier.. lo menulis mimpi, lo berusaha kerja keras dan lo bakal dapetin itu semua. Nope, that’s not how life works Kecuali lo keluarga Cendana dan siap sama tanggungan akhirat untuk berbuat gak bener

Gue bisa dapetin apa yang gue impikan, BUT.. it’s all take blood and sweat, I had to go through rejection, failure, or even mental breakdown. Gue sadar di antara berusaha dan hasil yang diinginkan, ada sebuah variabel yang benar-benar di luar kontrol gue sendiri. In the end, I can’t always get what I want.

That’s how I learned about LIFE in my twenties.

Dulu gue bermimpi, gue ingin masuk universitas negeri, dapat IPK yang bagus dan pengalaman layak yang bisa mengantarkan gue mendapat beasiswa Master dan Doktoral, lalu saat lagi sekolah gue menikah dengan lelaki pilihan gue, lalu ngelahirin anak di luar negeri, terus ballik ke Indonesia, bisa kembali ngajar jadi dosen, hidup cukup, suami satu kerja mapan, anak sehat sehat dan pinter (kalau bisa ngikutin pola yang sama kayak gue), rumah sederhana tapi ada taman belakang buat buat duduk ngopi-ngopi, dan happily ever after.

That’s my Princess story.

Itu definisi gue hidup gue yang lurus dan bahagia.

Kalau lo tau perjalanan hidup gue, pasti lo bilang “lah yes bukannya kesampean ya?”

Yeah, I know I made it come true, meski  ada yang meleset juga.

Cara gue nulis mimpi di atas itu, seolah olah gue ini mobil di jalan tol, berjalan mulus tanpa hambatan (tol nya pake tol jerman ya, kalau tol indo kurang cocok jadi perumpamaan). Gak ada jalan bolong, lo bisa high speed boleh, low speed boleh, estimasi waktu sampai bisa diprediksi, pokoknya alus deh kayak kaki bayi, adem ayem kayak ubin musola.

Ternyata gue gak dapet jalan Tol, tapi jalan arteri Kalimalang Bekasi (ni ada beritanya https://news.okezone.com/read/2019/02/17/338/2019068/jalan-arteri-kalimalang-bekasi-rusak-parah-dipenuhi-lubang-seperti-kolam)

Apa yang gue impikan itu hanyalah impian putri dongeng.. gak ada yang mulus, semua berkelok kelok,ada lubang, ada mogok, ada yang malak.

Iya sih, gue dapet beasiswa keluar negeri, tapi setelah gue ditolak lebih dari 10 lamaran beasiswa.

Iya sih, gue bisa menang award, tapi setelah berkali kali gagal kompetisi, (bahkan sedihnya gue pernah ikut lomba, dimana gue pernah dikontak kalau gue masuk finalis dan diundang ke acara penganugerahan, dan finalis akan diumumkan saat pengumuman pemenang di panggung, dan saat gue dateng, nama gue sama sekali gak disebut sebagai finalis. Kayaknya panitia nya lagi iseng bikin prank ke gue)

Iya sih, gue bisa merit dengan lelaki pilihan gue, which I love him sooo much. Tapi setelah bertahun-tahun jomblo, sempet mikir kenapa gue gak laku-laku dari jutaan lelaki Indonesia, bahkan sempet dipepet ama akhi akhi psycho (serius horror banget ini), belum lagi family pressure yang selalu nanyain mana pacar gue, kapan nikah, plus dengan paket banding-bandingin dengan sepupu gue yang sudah pada menikah duluan, eh ternyata jodoh gue lagi sekolah di Jerman. Wak waaaww.. Untung perjalanan gue ke Jerman dibayai ama Erasmus (thanks to Erasmus for sponsoring for my true love finding mission)

Dan hal hal lain yang belum tersampaikan.. my husband and I are still struggling to have a baby (I never talk about this before on my blog) sadly some people think that we don’t wanna have a baby because they just see that I always travel for fun and never think about the future of my family, which that makes feel sucks (that’s why I never talk to anyone about this except my very close trusted friends..

And, my dream to be a lecture.. when I can teach students and run meaningful research, yang ada beres S2 malah jadi pengangguran, cari kerja idealis susah, sampe akhirnya mutusin kerja apa aja yang penting menghasilkan uang dan ngerepotin ortu. I’ve been passed through that time. I always remember where I work at campus and study master at the same time. I came back at home at 10 pm, even more than that, and the next day I have to take a class at 8 am in the morning. Seems normal, but I need to take 2 hours from my home to campus one way. Saat itu rasanya 1 hari itu kayak 40 jam.

Cita cita terpendam gue untuk jadi dosen masih berada di angan-angan gue. Ketika gue tau gue sulit untuk jadi dosen setelah beres sekolah, gue banting setir jadi wirausaha, tanpa modal usaha dan tanpa ilmu bisnis yang mumpuni. Keputusan hidup macam apa ini??? (zoom in zoom out mata kayak sinetron)

Lebih lucu lagi, ternyata gue sebenarnya udah jalan bikin usaha bersama game kesayangan gue, tapi gue sendiri gak paham apa itu bisnis. Jadilah gue menjalani usaha pake teori yang gue punya, lo produksi barang, tambah nilai lebih dari biaya produksi, terus lo jual deh. I adopted that concept for couple of years, after I began to learn what actual business is, dari mana? Dari business model canvas!

Serius this is one of the funniest thing in my life. Ketika jutaan anak muda terjun ke dunia usaha, dengan business model yang cetar, dan keyakinan diri bahwa they are the future of the world.

Gue sendiri terjun ke dunia usaha karena, simple, gue punya produk yang gue kembangkan bertahun-tahun dan gue sepertinya emang gak jodoh ama dunia kerja, gak dapet mulu. Hahaha.

Masuk ke dunia usaha, wew.. it’s like a hunger game arena, lo meleng dikit, langsung ditusuk ama lawan. Hahaha.. engga dink.. dunia usaha itu asik kok, “asik” ya. Lupa dikasi kutip.

Kalau orang bilang “enak ya usaha, atur waktu sendiri, bebas kemana mana, tinggal nyuruh nyuruh, trus duit banyak..”

Entah ni orang kayanya pake referensi orang sukses di MLM ya.. cuma yang bagus-bagusnya aja.

Dari pelajaran gue sih, usaha itu enak, kalau udah tau pahitnya, pahitnya gak Cuma sekali, tapi berkali kali, dan enaknya ya selama bisa menggenggam manis pahitnya itu. Hehehe.

Gue mengaku kalau gue masih early stage banget di dunia usaha. Esensi utama menjadi wirausaha itu ya belajar gak abis-abis. Gue belajar jadi customer service, hingga berani mindahin tugas ini ke orang lain. Gue belajar jadi pengrajin daur ulang, hingga gue coba kasih kerjaan ini ke ibu ibu yang membutuhkan uang, gue merangkap hampir banyak pekerjaan untuk usaha gue, CEO hanyalah titel, kerjaan ya palugada. Hahaha.

Hal yang gue suka dari dunia wirausaha itu mendapat banyak mentor. Gue sadar di dunia ini, lo gak bisa sendiri, bisnis juga gak bisa sendiri. Gue beruntung banget bisa menemukan banyak mentor-mentor yang ngajarin gue tentang arti hidup.

 

Yes, hidup ini ternyata keras men. Hidup ini seperti grafik saham, bisa jatuh sejatuh-nya, bisa naik setinggi-tingginya, kita gak tau kapan datang dan kapan pergi.

But hey, that’s a life, right?

Gue tau apa mimpi-mimpi gue, cara eksekusinya, tapi ternyata gue gak bisa tau hasilnya apa. And that’s the lesson I got from being 20s.

Refleksi lagi dari kata Papa Kiyosaki, you work to learn, not earn. Hidup ini gak Cuma soal angka.

Tanggal berapa lo merit, berapa gaji yang lo dapet, berapa banyak teman yang lo punya. It’s not a number. Number will always be there, dan ternyata gue belajar berproses.. berproses seperti adanya manusia yang sebenarnya gak bisa apa-apa, gue sadar ternyata gue bukan superhero yang bisa ngelakuin apa aja, dan bisa mewujudkan segalanya dengan tingkat presisi yang tepat.

10 tahun gue belajar bagaimana gue bisa bermimpi, bagaimana gue bisa achieve, bagaimana gue gagal, dan bagaimana gue bisa move on. Semua itu proses. Bahkan sampai detik ini perlu proses.

PROSES. PROSES. PROSES.

Semua gak akan bisa gue capai kalau engga melalui serangkaian proses. I’m glad I spent my whole 20s taking so many process, whether it ‘s successful  or failure. Both taught me a good lesson.

Di beberapa momen, gue bersyukur banget gue mendapat kegagalan, di umur yang muda ini. Cara gue memandang kegagalan itu jauh berbeda dengan sekarang. Beda banget. Dan ini yang menjadi kebanggaan diri gue menjadi orang dewasa.

Gue bersyukur banget kalau ternyata hari hari yang telah gue lewati selama 10 tahun terakhir telah gue habiskan ini lebih banyak untuk experience statisfaction than material satisfaction.

I’m glad, so glad. Gue mungkin menyesal jadi kere, tapi gue lebih nyesel lagi kalau gue gak punya banyak pengalaman, apalagi traveling.

Gue bersyukur selama 10 tahun terakhir, I’ve been traveled around the world (most of them are free).

Gue keliling Eropa, backpacking, solo travel, magang ke Amerika, keliling Indochina sama suami, pergi ke Pakistan dua kali (trip terakhir bikin jantung mo copot), tiga kali ke Australia dalam misi belajar dan bisnis, bawa Skripsi ke Korea, ke Arab Saudi bareng bos bos start-up.

I am so much blessed that I had a chance to see the world, lebih tepatnya keliling dunia di usia muda, di luar kemampuan finansial gue, karena banyak orang baik di luar sana yang ngasi gue kesempatan ini.

Kalau mau pake itungan angka, maybe I have to spend almost a billion rupiah to travel around 33 countries. I know I couldn’t afford it, but what is life without a surprise? I even made it without those bunch of money on my bank account!

Sebagai wanita yang lahir dari keluarga kelas menengah dan still try to make a living, travel is seen as tertiary needs. Gue senang bisa ngewujudin tanpa harus merepotkan orang tua dan tanpa harus ngutang. Bersama tulisan ini, gue ingin menyampaikan rasa terima kasih untuk semua sponsor trip gue! Gue doakan kalian masuk surga!

I know that my journey is not ended here, so have to continue my amazing life as a Student Traveler.

Gue jadi curiga, apa jangan-jangan gue belum move on ya jadi anak umur 20an, hehehe… kok rasanya kayak ngulik ngulik masa lalu terus belum move on. :p

Well, waktu gak bisa kita ulang, tapi gak bisa kita stop juga. Ini yang gue takutkan, gue bisa aja takut gak punya uang, tapi gue lebih takut sama gak punya waktu, atau melewati waktu gitu aja.

10 tahun terakhir ini gue sadar betapa berharganya waktu. Untuk apa?

Untuk mengetahui hal yang gue gak tahu, buat gue hal yang paling ngeri itu ketika lo gak tahu apa aja yang berguna buat hidup lo kelak!

Gue baru belajar bisnis di akhir umur 20an, while some people start at early 20s.

Gue baru belajar investasi di akhir umur 20an, while Warren Buffet started when he was 12 years old.

2 tahun terakhir, gue tercerahkan sama dunia Investasi. Gue akui gue masih snob banget, baru mengenal yang namanya reksadana, saham, emas, dll… I wish that I could know earlier. Then, my life would be different. Dan kemungkinan besar, dunia ini yang akan jadi prioritas gue saat gue masuk ke kepala tiga. Gue sadar banget kalau selama ini mindset gue tidak tepat, gue bikin keputusan yang salah, dan lain lain. Gue stop pegang mindset lama gue, dan pergi menuju mindset baru.

Belajar investasi ini ngajarin gue lebih dari sekedar duit. Even gue sadar, kalau entrepreneurial world itu gak Cuma soal duit (yang masih merasa ini non-sense, it’s okay, gue juga pernah kok kayak gitu,, hehe).

Catatan ini sebenarnya gue buat untuk nostalgia kembali masa-masa 20an gue, gue berharap diri gue yang nanti menginjak umur 40, 50, atau 80.. (bila Allah memberi umur) gue bisa buka notes ini dan senyum senyum sendiri. (moga moga gue versi tua gak serius serius amat ya, hihihi).

Catatan ini juga gak mau lagi gue buat terlalu klise, terlalu goal oriented. Biasanya kan kalo nulis isinya catatan catatan keberhasilan, llist apa aja yang udah tercapai. Ke depannya, gue ingin menulis lebih banyak soal proses, dibanding hasil. Gue tetap bermimpi, tetap punya goal, tapi gue akan sharing banyak prosesnya dibanding achievementnya. Lagi lagi soal proses, gue dapet pencerahan baru dari seorang investor bernama GaryVee, he enlightened me about harsh life fact, yang kadang kita gak mau denger, kita gak mau terima.

Makin dewasa, gue ingin gue semakin jujur terhadap diri gue sendiri dan menghadapi realita tanpa harus mengubur mimpi. Karena selama nafas masih berhembus, selama otak kaki tangan gue masih ada, gue selalu puny acara untuk mencoba lagi. Sepahit apapun masalah yang gue hadapi, gue harus jalani, dan pastinya mengambil semua konsekuensi hidup yang gue pilih kelak. Because I am the only person who can take responsibility of my own action. Gue gak mau bikin bikin resolusi aneh aneh untuk masa depan gue, because that thing is just sooo cliché. Hahaha.

Sebenarnya ada banyak banget sih kenangan yang ingin gue flashback dalam tulisan ini, tapi biarkan saja gue kenang dalam diri gue, dan tulisan mungkin bisa menjadi representasi catatan hidup yang kelak ingin gue kenang nanti nanti..

Last but not least,I was so much inspired by many things I’ve seen. I was fascinated by movies, public figures, books, etc. I can give you some examples: Habis demam Bohemian Rhapsody, gue ngefans banget sama Brian May, a legendary Queen guitarist, but he got his PhD in Astrophysics, how cool is that? Ada lagi, Yalitza Aparicio, seorang aktris dari Meksiko yang masuk nominasi Oscar berkat peran utamanya di film yang amat ciamik ROMA buatan Alfonso Cuaron, FYI, she’s not even an actress! She is a teacher, and ROMA is her first movie. I love to see a lot of people who cross boundaries, see the outer space as their limit, yang gak pernah dipikir banyak orang bakal terjadi.

So, I have one wish that might be crazy to accomplish, but I think I want to do something that I’ve never done before, even I have a skill to do it, but maybe someday when the time is right. Maybe write a movie script, be a Zumba instructor, or maybe direct a movie?

This might be my last post I write during my twenties..

Dear Life,

 

I just want to let you know that I’m leaving my 20s soon…

Thank you for all life lessons..

Now I am ready to be a new thirty..

I won’t ask you “Please be nice..” because I know life isn’t always nice,

But please make me stronger, make me better.

 

Regards,

Annisa

 

 

 

 

 

Read More