Refleksi Akhir 20an : Andai Dari Dulu.. (Chapter 2)

2. Am I a True Enterpreneur?

(baca chapter 1 disini)

Jaman sekarang, begitu mudah memberi label pada diri kita ini siapa.

Founder … CEO..  Influencer.. Enterpreneur.. Author..

Gampang banget! Apalagi semenjak  masuknya social media ke dalam hidup kita, we need to declare ourselves , so that the world knows who we are.. Gak perlu pake sertifikat, gak perlu izin, we can declare ourselves freely. Eksistensi kita harus ada, supaya kita bisa diterima.

Sekarang banyak sekali muncul para entrepreneur, entrepreneur baru.. founder baru.. hingga akhirnya gue nanya ke diri gue, sebenarnya Enterpreneur itu apa ya? Apakah orang yang membangun usaha sendiri, punya beberapa karyawan, dan menjual produk, dan dapat untung kah?

Atau orang yang memiliki mindset entrepreneurial, apapun profesinya? Kalau dagang di pasar, jual cabe, punya satu karyawan, apa itu juga disebut entrepreneur?

Waktu gue mutusin untuk fokus bangun usaha tepat setelah sekolah, gue sendiri gak pedeuntuk menyebut diri gue sebagai seorang entrepreneur. Gue justru lebih nyaman menyebut diri gue sebagai Owner dari usaha gue sekaligus bekerja sebagai Game Designer. Karena gak mau terjebak dalam istilah itu, padahal capaian gue sendiri bersama usaha yang gue bangun belum mencapai ke titik itu secara sepenuhnya. Perlu beberapa waktu buat gue untuk berani bilang kalau gue adalah seorang social entrepreneur di hadapan banyak orang. Karena gue sendiri masih berjuang untuk menjadi seorang the real entrepreneur, atau mungkin gak akan pernah merasa seperti itu, karena the true enterprise is actually a lifetime learner, dan gue ga mau menjadi jumawa padahal belum ada apa apanya, ilmu pun masih secuil. Gue ingin menjadi apapun yang gue mau. Istilah wirausaha, karyawan, freelancer, pendidik, pakar,  apa pun itu hanya penamaan aja, sekedar untuk isian form. Orang lain boleh mendefiniskan gue itu apa dan siapa, yang pasti tidak akan membatasi diri gue untuk mengerjakan apa yang gue mau.

3. Terjun ke Dunia yang “Membahayakan” : Pasar Modal

Poin ini masih related sama poin nomor satu. Awal tahun ini, gue dan suami mutusin untuk belajar hal baru: terjun ke Pasar Modal, atau istilah santainya: Main Saham. Setelah nikah beberapa tahun dan mengarungi dinamika rumah tangga kelas menengah yang penuh warna warni, kami berdua sadar kalau kita gak bisa gini gini aja, harus ada hal baru yang kita pelajari.

Kami berdua pun menelan buku-buku Robert Kiyosaki, bapak kapitalis Amerika itu telah berhasil “menakut-nakuti” kami tentang sistem yang mengatur uang di dunia. Meski ada beberapa poin yang bersebarangan dengan prinsip gue, satu hal yang cukup membuat gue terngiang-ngiang adalah pasar modal. Orang seringkali ngomong saham si anu, saham lagi turun, saham naik, tapi gue sendiri engga ngerasain langsung kayak apa.

Berbekal keberanian dan ilmu pas-pasan, gue dan suami berani buka akun untuk main saham. Saat beberapa orang terdekat gue tau kalau kita mulai main saham, ada yang bilang “hati hati kalo main saham..” atau “bahaya lo itu main saham-saham, bisa ilang duitnya..”

 

Hehehehe, disini gue pengen ketawa. Banyak banget yang mengasosiasikan saham = bahaya. Seolah-olah kita naro duit untuk main saham, tiba-tiba besok bisa ilang tanpa bekas. (eh tapi emang bisa sih, coba nonton the Big Short). Menarik bahwa saham itu diartikan sebagai dunia yang sebaiknya dihindari, dan cari investasi yang aman-aman aja. Gue bukan berarti gak setuju sama persepsi saham=bahaya, emang “bahaya” kalau mindset kita main saham itu untung terus, dan ilang duit itu merugikan. Lucunya, orang yang bilang ke gue saham itu bahaya, justru habis dibawa lari duitnya sama rekan bisnisnya, pas gue Tanya ada kesepakatan bisnis hitam di atas putih, dia bilang Cuma pegang kepercayaan aja. Dan ampe sekarang uangnya gak balik-balik. See? Ironis emang di Indonesia ini, menganggap sesuatu bahaya, padahal ada banyak hal lain yang sama sama bahaya. Intinya membuat investasi keuangan pasti ada risikonya, risikonya itu perlu dihitung dan semua kembali ke kita. Kalau risiko itu bahaya, ya dimana mana pasti ada bahaya.

Naro uang di celengan, ada risiko dicolong. Naro uang untuk diputer usaha, ada risiko gagal, uang dibawa lari orang. Naro uang di saham ya gitu, ada risiko saham jatoh.

Justru buat gue, main saham itu menjadi ajang buat melatih diri ngadepin risiko, bikin keputusan dan mengatur emosi gue, dan ini ada ilmunya. Main saham itu gue anggap sebagai ruang belajar, bukan ajang membuat gue kaya secara instan. Pengen sih naro uang sejuta, sebulan kemudian jadi 100 juta. Tapi semua itu harus dipelajari toh? Dan ini semua perlu kesiapan mental juga, siap untuk nyisihin uang yang bisa dipake shopping cantik untuk dijadiin alat belajar yang belum tentu ngasi return cepet. Gue lihat orang yang main saham itu biasanya secara mental siap dengan risiko, karena belum banyak yang berani atau ada prioritas lain.

Warren Buffet, the richest man in the world, pertama kali beli saham waktu umur 13 tahun,  selama berproses, dia sempat rugi juga. Bayangin belajar mulai dari umur 13 tahun, semua perlu proses, dak ada yang instan. #SayNoToInstanKecualiMieInstan.

Buat pembaca yang udah punya KTP dan ada sedikit uang lebih, belajar pasar modal is recommended for you, tapi siapin mental dulu ya!

4. Gue, Lo, dan Kita Semua Emang Gak Bisa Nguasain Semua Hal

Dari kecil, kita sering ditekan untuk menguasai semua mata pelajaran, kita harus dapet nilai bagus di semua subjek. Saat besar, kita dituntut untuk menguasai bidang ilmu yang gak kita sukai,  pokoknya for sake of good score and bright future, after that, what’s the use? Padahal di dunia nyata, kalau kita gak mumpuni dalam satu bidang, kita bisa minta ahli yang  menguasai untuk ngerjain. Pendidikan formal yang gue alami cukup menekankan pada “be the best on every subject, no matter how hard you try”, tapi gak ada tujuan jelas kita ini mau jadi apa. Alhasil kita jadi orang yang mediocre, gak menguasai satu bidang yang amat sangat ditekuni dan diasah.

Waktu baca buku parenting Ayah Edy, gue juga tergelitik dengan cerita cerita gimana persepsi orang tua terhadap kesuksesan dan kebahagiaan anaknya. Banyak yang terjebak pada mindet:

 

Kuasai semua hal – dapat skor bagus di semua bidang – cari profesi yang bagus dan prospektif (suka gak suka) – dapat uang banyak – sukses dan bahagia

 

Padahal saat menjalani, kita belum tentu bisa nguasain semua bidang. Dulu gue jago matematika mungkin bukan karena gue suka matematika, tapi dorongan kalau gue harus jauh lebih baik dari yang lain. Padahal ternyata gue suka dengan kesenian, gue selalu dapat nilai bagus di kesenian, tapi still, it’s just Kesenian. Gak ada ngaruhnya untuk hidup gue kelak, kata orang-orang. Nilai bagus di Matematika dan IPA lah yang menentukan kepintaran kita. Itu pun terus belanjut sampe besar, mindset harus bisa semuanya tertanam terus selama sekolah, hingga ketika harus milih jurusan apa yang ditekuni, banyak yang milih karena jaminan masa depan, karena prospek kerja gaji besar tinggi, dll. Jarang ada yang bertanya, “apa kamu suka dengan bidang itu?” “apa modal keahlian  kamu sudah cukup?”

Hingga muncullah sekelompok mahasiswa yang merasa “salah jurusan”, ada yang gamblang bilang, ada yang ragu bilang takut salah, ada yang nerima dan menjalani dengan ikhlas. Fenomena “salah jurusan” yang gue temukan inilah salah satu efek dari bagaimana kita gak mencari tahu apa yang sebenarnya kita suka dan kuasai. Kenyataannya, manusia emang tidak dilahirkan untuk menguasai semua hal. Gue, lo, dan kita semua ini emang terlahir menguasai sesuatu hal dan tidak di hal lainnya. Ini juga gak Cuma terjadi di Indonesia, tapi di negara lain, misal India.

Film yang paling representative untuk fenomena ini adalah Three Idiots. Tokoh utamanya, cowok India punya passion di fotografi, tapi didorong orang tua nya buat jadi engineering. Profesi paling bergengsi di masyarakat untuk laki laki. Itu kenapa ni film gak bosen-bosen buat gue tonton, karena ya itu kita sibuk menguasai hal-hal yang gak kita suka, dan melewat waktu berharga untuk mengasah hal yang kita suka.

Menyukai dan menguasai ketika digabung menjadi sebuah kekuatan besar, apalagi kalau kita tahu cara monetizing skill kita sejak dini. You can finally find your Ikigai.

 

What I Love + What I’m Good at + How this could earn me money and support my living = IKIGAI

 

Gue pernah ngobrol dengan kolega yang kenal baik dengan seorang penyanyi terkenal di tanah air. Dia bercerita kalau bapaknya itu sudah memetakan potensi dan bakat anaknya sejak kecil, dan dia menemukan kalau si penyanyi ini punya talenta musik, akhirnya bapak ibunya memutuskan untuk melatih dia bermusik sejak kecil, mengikuti berbagai kompetisi, orang tua nya tidak begitu peduli matematika dia kurang bagus atau subjek lain selain musik yang nilainya kurang bagus, lalu dia dikirim ke akademi musik (dengan jalur beasiswa), sekarang? Di umur yang masih muda, dia sudah menjadi penyanyi terkenal yang dihormati di tanah air, aktif mengeluarkan album, manggung dan tentunya happy karena dia mengerjakan hal yang dia cintai. Dari hasil bekerja sebagai pemusik, dia pun menerima pendapatan yang pastinya tidak sedikit. Disitu saya juga belajar, kalau terkenal itu bonus sampingan aja, bekerja pada hal yang kita cintai sepenuhnya dan mendapat penghasilan pantas dari karya kita itulah yang menjadi tujuan utamanya.

5. Frugal Living

Continue reading Chapter 3  : Frugal Living here